Dakwah, Adi Supriadi dan Kompasiana
Pagi ini, di dinding profilku melekat postingan La Chatte. Saya klik, saya baca, saya kasih komen plus nilai actual. Beberapa menit sebelum itu, saya baca postingan Adi Supriadi (AS) seputar postingan dia yang dihapus admin. Saya baca, saya kasih komen plus actual juga. Jendela saya buka, angin melintas. Saya isap rokok starmild (maaf saya adalah perokok sebab hanya itu yang bisa saya isap, tidak pada hal lainnya disebabkan saya belum nikah)
Esensi postingan AS adalah dakwah. Tentu itu bagus. Yang tak elok ketika AS tidak posisional saat alirkan dakwah di sebuah ruang terbuka dengan kemajemukan bersifat holistik. Dakwah dalam ruang terbatas dalam komunitas tunggal tentu beda dengan dakwah dalam komunitas bersifat majemuk holistik.
Dakwah dalam ruang kompasiana butuh kompas arief kemana kumpul kalimat diarahkan. Tuturan yang memiliki implikasi emosional paradoks kudu ditaruh dalam laci-laci nalar yang cerdas. Kenapa? Manusia adalah mahkota kultural yang diciptakan Tuhan dengan potensi pengayaan yang juga bersifat kultural pula. Tak aneh, ketika AS salah menakwil literatur dengan luapan ekspresi yang emosional akan memicu ruang postingan jadi rameh ing komen. Ini wajar. Yang tidak wajar ketika komen-komen pelurusan itu didelet AS. Padahal ketika kita ditelikung banyak hal tentang hal yang banyak, apakah itu pujian, cercaan, koreksi atau entah apa lagi, sesungguhnya AS telah berada di ruang pencerahan.
Saat AS memosisikan diri sebagai pendakwah maka saat itu pula kita butuh kearifan-kearifan khas, cerdas dan humanis. Posisikan diri kita bukan sebagai guru, bukan sebagai pemikir ulung, bukan sebagai ulama dengan banyak ilmu yang linuwih, bukan sebagai manusia unggul tapi rendahkan diri kita menjadi seorang hamba Allah di titik paling terendah. Kita tidak memiliki apa-apa kecuali ritual kultural yang mendambakan manusia bertawaf pada pusaran peradaban yang berketuhanan. Ada banyak sisi humanis yang kerap dilakoni leluhur-leluhur kita ketika mereke berdakwah. Tidak dengan pena yang tajam tidak dengan pedang yang mengkilat tapi dengan amalan-amalan terpuji yang menyenangkan siapa saja.
Pagi ini, ketika jendela saya buka, saya lihat cahaya matahari menerobos masuk melalui daun-daun. Andai kita menjadi cahaya matahari yang membuat ruang jadi hangat, yang membuat cucian celana dalamku jadi kering, maka di titik terhjauh itulah esensi dari dakwah.
Saniah Siana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H