Mohon tunggu...
Siana Saniah
Siana Saniah Mohon Tunggu... -

wanita biasa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dakwah, Adi Supriadi dan Kompasiana

27 Juli 2011   23:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:19 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dakwah, Adi Supriadi dan Kompasiana

Pagi ini, di dinding profilku melekat postingan La Chatte. Saya klik, saya baca, saya kasih komen plus nilai actual. Beberapa menit sebelum itu, saya baca postingan Adi Supriadi (AS) seputar postingan dia yang dihapus admin. Saya baca, saya kasih komen plus actual juga. Jendela saya buka, angin melintas. Saya isap rokok starmild (maaf saya adalah perokok sebab hanya itu yang bisa saya isap, tidak pada hal lainnya disebabkan saya belum nikah)

Esensi postingan AS adalah dakwah. Tentu itu bagus. Yang tak elok ketika AS tidak posisional saat alirkan dakwah di sebuah ruang terbuka dengan kemajemukan bersifat holistik. Dakwah dalam ruang terbatas dalam komunitas tunggal tentu beda dengan dakwah dalam komunitas bersifat majemuk holistik.

Dakwah dalam ruang kompasiana butuh kompas arief kemana kumpul kalimat diarahkan. Tuturan yang memiliki implikasi emosional paradoks kudu ditaruh dalam laci-laci nalar yang cerdas. Kenapa? Manusia adalah mahkota kultural yang diciptakan Tuhan dengan potensi pengayaan yang juga bersifat kultural pula. Tak aneh, ketika AS salah menakwil literatur dengan luapan ekspresi yang emosional akan memicu ruang postingan jadi rameh ing komen. Ini wajar. Yang tidak wajar ketika komen-komen pelurusan itu didelet AS. Padahal ketika kita ditelikung banyak hal tentang hal yang banyak, apakah itu pujian, cercaan, koreksi atau entah apa lagi, sesungguhnya AS telah berada di ruang pencerahan.

Saat AS memosisikan diri sebagai pendakwah maka saat itu pula kita butuh kearifan-kearifan khas, cerdas dan humanis. Posisikan diri kita bukan sebagai guru, bukan sebagai pemikir ulung, bukan sebagai ulama dengan banyak ilmu yang linuwih, bukan sebagai manusia unggul tapi rendahkan diri kita menjadi seorang hamba Allah di titik paling  terendah. Kita tidak memiliki apa-apa kecuali ritual kultural yang mendambakan manusia bertawaf pada pusaran peradaban yang berketuhanan. Ada banyak sisi humanis yang kerap dilakoni leluhur-leluhur kita ketika mereke berdakwah. Tidak dengan pena yang tajam tidak dengan pedang yang mengkilat tapi dengan amalan-amalan terpuji yang menyenangkan siapa saja.

Pagi ini, ketika jendela saya buka, saya lihat cahaya matahari menerobos masuk melalui daun-daun. Andai kita menjadi cahaya matahari yang membuat ruang jadi hangat, yang membuat cucian celana dalamku jadi kering, maka di titik terhjauh itulah esensi dari dakwah.

Saniah Siana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun