Mohon tunggu...
Siana Ria
Siana Ria Mohon Tunggu... -

senang tulis menulis, memasak, dan baca buku. ingin menularkan virus "kesederhanaan hidup" yg berpusat pd diri sendiri dgn mensyukuri segala kekurangan dan kelebihdannya sampai selalu berbahagia sepanjang waktu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hidup Biasa-Biasa Seumur Hidup

8 Agustus 2011   22:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:58 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Muda bersenang-senang, tua kaya raya, mati masuk surga”. Saya  sempat protes kepada Yang Kuasa di atas, kenapa tidak dianugrahi hidup seperti kalimat pada kaos DAGADU produksi lokal yang terkenal itu.

Saya pernah bertanya banyak hal tentang hidup saya dan sedikit protes. Kenapa tidak lahir di Jerman atau Amerika biar jadi orang bule. Namun justru harus dilahirkan di kota kecil dengan kehidupan yang biasa-biasa saja, telah bekerja lebih dari 15 tahun pun masih biasa-biasa saja karir dan penghasilannya. Sepertinya hidup ini ditakdirkan harus mengikuti lirik lagu dangdut ”yang sedang-sedang saja”. Terlalu kaya tidak, terlalu miskin apalagi. Toh saya jadi orang tidak jahat atau tergolong orang baik, selayaknya orang lain lah, taat peraturan dan menjalanan etika dimana saja, sedikit religius dan suka menolong orang. Namun apakah itu cukup sebagai tiket mendapat rezeki banyak? (kaya mendadak-red)

Kurva Normal

Setelah menjalani hidup lebih dari sepertiga abad, saya baru bisa menyimpulkan kenapa hidup ini sangat biasa-biasa saja. Sekolah biasa, kuliah biasa & kerja juga biasa-biasa saja. Semua terkait dari cara berpikir kebanyakan orang, bahwa apa yang telah dimiliki, dijalani adalah hal-hal biasa saja, atau istilahnya standar (STD). Jadilah hidup di garis biasa-biasa saja. Kalau dibuat kurva normalnya maka bisa pastikan hidup saya berada di tengah-tengahnya 60% yang sedang-sedang, bukan di 20% diatas rata-rata, apalagi 20% dibawah rata-rata. Apakah harus menjadi kecewa dan marah memiliki hidup yang biasa-biasa saja? Tentu tidak, mungkin lebih baik di tingkat biasa-biasa itu. Tidak jadi sorotan umum, karena itulah standar hidup asal di bagian sedang-sedang berarti tidak merepotkan pemerintah untuk meluncurkan dana BLT.

Dalam hal-hal biasa masih ditemukan hal-hal luar biasa atau istimewa, seperti duduk di atap gedung DPR bersama ribuan orang di masa reformasi, makan restoran di lantai 46 gedung bertingkat Jakarta, tidur di hotel mewah bintang lima karena pekerjaan atau pernah naik pesawat meskipun masih kelas ekonomi, bisa naik kereta ekspress dan banyak ratusan aktivitas lain yang mungkin orang-orang biasa lainnya belum pernah mengalaminya. Saya menganggap semuanya bonus dan keajaiban hidup saya. Setidaknya untuk membesarkan hati.

Orang kaya atau selebritis yang selalu dianggap hidup dalam dunia ”luar biasa” pun menganggap hari-harinya yang dikelilingi para body guard sebagai hidupnya yang biasa dan terkadang menginginkan yang ”luar biasa”. Sang Budha memilih pergi dari istana mencari kesejatian hidup. Jadi tidak ada kesempurnaan dalam hidup ini. Apakah orang-orang kaya, terkenal, selebritis merasa bahagia dalam hidupnya? Michael Jackson tidak mau menjadi afro amerika dan mencari segala upaya memutihkan kulitnya. Beberapa selebritis mati karena over dosis! Apa kau menginginkan menjadi salah satu dari mereka yang luar biasa itu? Semua adalah masalah cara memandang hidup, apakah kau menjadi orang biasa atau luar biasa.

Pilih Di Atas Atau Di Bawah Normal?

Ada orang-orang yang saya kategorikan di atas normal, mereka yang kaya sekali, kemana-mana naik mobil, hidup dengan fasilitas mewah, kemana-mana pakai bodyguard. Pasti mantap hidup dalam kondisi seperti itu. Apa benar? Orang-orang kaya malah bingung menaruh uang dan kekayaannya di bank paling bonafit dan terpercaya, namun ketika pencuri datang mengambil harta para prioritas banking, maka saya hanya membaca di korandan manggut-manggut bin terheran-heran dengan jumlah rekening mereka, seraya berandai-andai memiliki sekian persen dari rekening atau deposito yang dijebol.

Kenapa pencuri tidak mengambil uang di bank kita yang nilainya tak seberapa itu? Pernahkah kau pikirkan itu? Para pencuri sangat pintar dan tahu kepada siapa dia harus mengambil harta seseorang, tanpa bermaksud menghakimi para koruptor atau orang yang bekerja dengan tidak halal. Itu bukan tugas kita. Setidaknya ada keuntungan dari orang biasa-biasa saja merasa lebih tenang dan tidak perlu kawatir hartanya dicuri dan tidak akan dilirik pencuri. Curian sedikit dan besar, sama hukumannya, jadi mereka juga tidak mau ”bekerja” untuk hal yang biasa-biasa saja. Yang ini tentu membuat kita sedikit lega.

Pernahkah kau bermimpi menjadi seorang Briptu Norman, atau Sinta dan Jojo menjadi selebritis dalam waktu singkat? Bila kau adalah dia, apa yang kau lakukan dengan gelimangnya uang  dan popularitas seperti selebritis? Apa kau siap bila orang-orang menguntitmu kemanapun kau pergi, ingin tahu apa yang kau makan, apa merk baju dan sepatumu. Atau tatkala kau akan mengejar pacarmu atau menduakannya, berbagai infotaiment sudah siap membuka semua kisah cintamu. Atau kau tidak bisa bersama keluargamu akan terdengar seperti proses perkawinan di ujung tanduk. Bahkan ketika kau makan di warung Tegal, lagu yang tersiar adalah kau sudah bangkrut.

Bila ada pilihan di luar di bawah normal, pastilah lebih memilih di batas normal saja. Tidak terlalu tinggi atau rendah. Golongan ini kerap kali dikecam dan hanya merepotkan pemerintah saja. Bahkan pemerintah berupaya mengentaskan kemiskinan agar nampak makmur negara ini, sebagai buah keberhasilan program pemerintah. Pernahkah terpikirkan bahwa kemiskinan mereka juga mungkin keturunan, kemiskinan menurunkan kemiskinan karena tidak ada yang menolong atau memberdayakan mereka keluar dari garis kemiskinan, tentu bukan dengan pemberian BLT. Sampai ada tulisan “orang miskin dilarang sakit” yang menggambarkan betapa sulitnya menjadi orang yang hidup di golonganini. Makan susah, sekolah susah apalagi berobat. Alangkah sengsaranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun