Mohon tunggu...
Si Anak Badai
Si Anak Badai Mohon Tunggu... Lainnya - Lembaga Pendidikan

Satu huruf per satu huruf

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kasihan si Pembelah Cermin

26 September 2024   20:08 Diperbarui: 26 September 2024   20:11 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Moror lari terbirit-birit memasuki pelataran kantor perusahaan Latlitlit. Mukanya dipenuhi keringat. Ekspresi mukanya seperti nano-nano, campuran antar letih, cemas, dan gugup. Sekarang pukul setengah sepuluh. Jadwal wawancara Moror pukul sembilan. Setengah jam yang lalu.

"Terlambat? Baru wawancara saja sudah terlambat?" Resepsionis galak menghadang, membuat Moror tertunduk. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Perusahaan Latlitlit sudah menutup pintu rapat-rapat.

Salah Bero, batin Moror. Bero teman satu kontrakannya yang lupa membangunkan pagi-pagi. Coba kalau Bero tidak lupa, ia bisa meninggalkan kontrakan lebih awal dan tidak terlambat.

Salah jalan raya, ucap Bero dalam hati. Walau Bero lupa, ia tidak terlambat betul bangun. Ia sudah siap menunggu angkutan umum pukul delapan. Waktu satu jam mestinya cukup kalau jalan raya tidak macet. Pemerintah kota memang tidak becus mengatasai kemacetan. Hal yang membuatnya terlambat.

Perusahaan Latlilit juga salah, gumam Moror. Ia hanya terlambat setengah jam. Masih bisa didispensasi. Ini juga baru wawancara. Mestinya bos perusahaan menanyakan lebih dulu alasan ia terlambat, bukan langsung menutup pintu rapat-rapat.

Itulah kisah Moror. Ia lebih memilih memecahkan cermin daripada mengkoreksi buruk mukanya. Tidak pernah terlintas di pikirannya, kalau apa yang terjadi merupakan kesalahan dirinya sendiri. Tahu harus bangun pagi, mengapa masih begadang nonton siaran sepak bola. Tahu jalanan memang macet bertahun-tahun, mengapa tidak berusaha sekuatnya agar tidak terlambat bangun. Perusahaan manapun berhak untuk mendiskualifikasi pelamar yang datang terlambat.

Moror adalah kita. Lebih suka mencari kambing daripada intropeksi diri. Lebih mudah menyalahkan orang atau hal-hal lain atas kegagalan yang didapat. Padahal ketidakberhasilan itu terjadi, justru karena kita belum berusaha optimal menggapai kesuksesan.

Buruk muka cermin dibelah. Maka bukan kasihan pada cerminnya, melainkan iba pada pemecahnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun