Pada suatu hari para dewa di Kahyangan sedang berkumpul untuk menentukan nasib Pulau Jawa. Pulau Jawa yang waktu itu dihuni banyak makhluk hidup ternyata posisinya miring. Para dewa bermaksud untuk membuat pulau tersebut tidak miring. Pada pertemuan itu, mereka kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah gunung yang besar dan tinggi di tengah-tengah Pulau Jawa sebagai penyeimbang. Alhasil mereka sepakat untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang berada di Laut Selatan ke sebuah daerah tanah datar yang terletak di perbatasan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Magelang.
Namun, di daerah di mana Gunung Jamurdipa akan ditempatkan ternyata terdapat dua orang empu yang sedang membuat keris sakti. Mereka bernama Empu Rama dan Empu Pamadi. Kedua empu ini terkenalakan memiliki kesaktian yang tinggi. Raja para dewa, Batara Guru kemudian mengutus Batara Narada dan Dewa Penyarikan beserta sejumlah pengawal dari istana Kahyangan untuk menasehati kedua empu tersebut agar segera pindah ke tempat lain sehingga tidak tertimpa oleh gunung yang akan ditempatkan di daerah itu.
Setiba di tempat itu, utusan para dewa langsung menghampiri kedua empu tersebut yang sedang sibuk menempa sebatang besi. Kesaktian Kedua Empu tersebut kemudian disaksikan oleh Batara Narada dan Dewa Penyarikan ketika mereka menempa batangan besi membara dengan tangan dan paha mereka. Kepalan tangan mereka bagaikan palu baja yang sangat keras. Setiap kali kepalan tangan mereka pukulkan pada batangan besi membara itu terlihat percikan cahaya yang memancar.
“Maaf, Empu! Kami utusan para dewa ingin berbicara dengan Empu berdua,” sapa Dewa Penyarikan.
Kedua empu tersebut segera menghentikan pekerjaannya dan kemudian mempersilakan kedua utusan para dewa itu untuk duduk.
“Ada apa gerangan, Pukulun? Ada yang dapat hamba bantu?” tanya Empu Rama.
Batara Narada menjawab “Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan permintaan para dewa kepada Empu.”
“Apakah permintaan itu?” tanya Empu Pamadi dengan rasa penasaran, ”Semoga permintaan itu dapat kami penuhi.”
Batara Narada pun menjelaskan permintaan para dewa kepada kedua empu tersebut. Setelah mendengar penjelasan itu, kedua empu langsung menolaknya. Mereka merasa permintaan para dewa itu sangatlah berat.
“Maafkan hamba, Pukulun! Hamba bukannya bermaksud untuk menolak permintaan para dewa. Tapi, perlu Pukulun ketahui bahwa membuat keris sakti tidak boleh dilakukan sembarangan, termasuk berpindah-pindah tempat,” jelas Empu Rama.
“Tapi Empu, keadaan ini sudah sangat mendesak. Jika Empu berdua tidak segera pindah dari sini Pulau Jawa ini semakin lama akan bertambah miring,” kata Dewa Penyarikan.
“Benar kata Dewa Penyarikan, Empu. Kami pun bersedia mencarikan tempat yang lebih baik untuk Empu berdua,” bujuk Empu Narada.
Meskipun telah dijanjikan tempat yang lebih baik, kedua empu tersebut tetap tidak mau pindah dari tempat itu.
“Maaf, Pukulun! Kami belum dapat memenuhi permintaan itu. Kalau kami berpindah tempat, sementara pekerjaan ini belum selesai, maka keris yang sedang kami buat ini tidak sebagus yang diharapkan. Lagi pula, masih banyak tanah datar yang lebih bagus untuk menempatkan Gunung Jamurdipa itu,” kata Empu Pamadi.
Empu Narada dan Dewa Penyaringan yang sudah mulai kehilangan kesabaran terpaksa mengancam kedua empu tersebut agar segera pindah dari tempat itu.
“Wahai, Empu Rama dan Empu Pamadi! Jangan memaksa kami untuk mengusir kalian dari tempat ini,” ujar Batara Narada.
Kedua empu tersebut tidak takut dengan gertakan itu karena mereka merasa juga sedang mengemban tugas yang harus diselesaikan. Oleh karena kedua belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing, akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka. Kedua empu tersebut tetap tidak gentar meskipun yang mereka hadapi adalah utusan para dewa. Dengan kesaktian yang dimiliki, mereka siap bertarung demi mempertahankan tempat itu. Tak ayal, pertarungan sengit pun tak terhindarkan. Meskipun dikepung oleh dua dewa beserta balatentaranya, kedua empu tersebut berhasil memenangkan pertarungan itu.
Batara Narada dan Dewa Penyarikan yang kalah dalam pertarungan itu segera terbang ke Kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru.
“Ampun, Batara Guru! Kami gagal membujuk kedua empu itu. Mereka sangat sakti mandraguna,” lapor Batara Narada.
Mendengar laporan itu Batara Guru menjadi murka.
“Dasar memang keras kepala kedua empu itu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Batara Guru.
“Dewa Bayu, segeralah kamu tiup Gunung Jamurdipa itu!” seru Batara Guru.
Dengan kesaktiannya, Dewa Bayu segera meniup gunung itu. Tiupan Dewa Bayu yang bagaikan angin topan berhasil menerbangkan Jamurdipa hingga melayang-layang di angkasa dan kemudian jatuh tepat di perapian kedua empu tersebut. Kedua empu yang berada di tempat itu pun ikut tertindih oleh Gunung Jamurdipa hingga tewas seketika. Menurut cerita, roh kedua empu tersebut kemudian menjadi penunggu gunung itu. Sementara itu, perapian tempat keduanya membuat keris sakti berubah menjadi kawah. Oleh karena kawah itu pada mulanya adalah sebuah perapian, maka para dewa mengganti nama gunung itu menjadi Gunung Merapi.
***
Cerita rakyat Asal Mula Gunung Merapi merupakan cerita rakyat yang berasal dari Yogyakarta. Cerita rakyat ini awal mulanya berkembang pada masyarakat sekitar Gunung Merapi dan kemudian diyakini sebagai asal usul Gunung Merapi. Seperti layaknya cerita rakyat, cerita ini juga mengandung nilai-nilai budi pekerti yang diperuntukan bagi khalayak.
Cerita ini mengajarkan bahwa orang yang tidak mau mendengar nasehat akan mendapatkan celaka. Nasehat dari dewa yang sepatutnya didengarkan ternyata dihiraukan oleh kedua empu. Akbitanya karena enggan mendengar nasehat para dewa mereka tewas tertindih Gunung Jamurdipa. Kita dapat mengambil hikmah bahwa nasehat baik dari siapapun itu harus kita dengar karena itu diperuntukan demi kebaikan kita sendiri. Sebaliknya jika kita tidak menerimanya maka lantas kita akan mendapatkan celaka.
Selain itu cerita ini secara inplicit mengajarkan kita untuk bersikap rendah hati dan mementingkan kepentingan bersama. Empu Rama dan Empu Pamadi bersikap egois dengan mementingkan diri sendiri ketika diminta untuk berpindah tempat. Mereka lebih mementingkan kualitas keris yang mereka buat daripada nyawa makhluk hidup yang tinggal di Pulau Jawa. Jika saja Empu Rama dan Empu Pamadi bersikap rendah hati, mereka pasti tidak akan mati dan segenap pulau jawa akan hidup dengan berbahagia.
Demikianlah nilai-nilai budi pekerti yang dapat dipetik dari cerita rakyat ini. Penulis berharap dengan membaca aartikel ini, pembaca dapat mengambil hikmahnya dan mengintrospkesi diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H