Sengitnya kompetisi pilkada serentak, membawa implikasi pada sengitnya perebutan isu lokal untuk mengukuhkan positioning di benak khalayak. Sayangnya, kebanyakan kandidat kehabisan kreatifitas isu lokal yang mendorong lahirnya personifikasi isu lokal.
Dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Kepulauan Riau (Kepri) ada dua calon yang bersaing. Calon urut nomor satu adalah HM Sani-Nurdin Basirun (SANUR) dan calon nomor urut dua adalah pasangan Soerya Respationo- Ansar Ahmad (SAH).
Untuk mengambil hati masyarakat di Kepri, tim kampanye salah satu calon menjadikan isu “putra daerah” sebagai strategi branding image. Terlebih Sani-Nurdin adalah putera daerah Kepri. Sedangkan calon gubernur nomor urut 2, Soerya Respationo adalah keturunan jawa yang sudah menetap di Kepri selama puluhan tahun lamanya.
"Saatnya Putra Daerah Memimpin”. "Demi Marwah Melayu". "Kita Putera Melayu". "Putera Melayu Harus Pimpin Kepri". Begitulah sedikit dari sekian banyak jargon-jargon tim kampanye Sanur yang beredar di dunia maya.
Di tengah upaya peningkatan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, kesetaraan dan keterbukaan seperti sekarang ini, isu-isu yang menggiring pada lokalitas dan etnisitas seperti di atas terlihat nyinyir, jadul (jaman dulu) dan tidak efektif.
Jargon-jargon putra daerah dan primordialisme lainnya, memang hanyalah salah satu bentuk propaganda komunikasi politik. Banyak kandidat yang sebelumnya tak pernah berbuat apapun untuk kemajuan daerahnya tiba-tiba menampilkan dirinya dengan penuh kebanggaan sebagai asli putra daerah.
Bahkan, jiwa nasionalisme mereka pun patut dipertanyakan. Seperti halnya calon wakil gubernur Kepri nomor urut satu Nurdin Basirun. Sekalipun beliau adalah putera daerah, dia menikah dengan warga negara Singapura. Apakah ini menjamin jika beliau bisa dikatakan sebagai putera daerah yang berjiwa nasionalisme tinggi?
Menggunakan isu putera daerah dalam sebuah kompetisi politik seperti pilkada sah-sah saja. Namun begitu propaganda politik yang bersifat primordial dan narsis akan menciptakan relasi komunikasi yang tidak fair antara kandidat.
Jika 'putera pendatang' (Mas Soerya Respationo) yang menang dalam Pilkada dan jadi gubernur di Kepri, pasti bertujuan membangun Kepri menjadi lebih baik. Jika memang putera pendatang bisa membangun dan mensejahterakan masyarakat Kepri, kenapa kita tidak memilih dan mendukung dia???
Dalam konteks tertentu, isu putera daerah harus menjadi pemimpin di wilayahnya bisa dikatakan sebagai kekerasan simbolik dan kekerasan semiotik. Bahayanya adalah jika pola komunikasi yang diwarnai kekerasan semiotik ini ditelan mentah-menatah oleh khalayak, maka kekerasan dan anarkhisme horisontal sangat mungkin terjadi.
Saat ini masyarakat sudah pandai memilih dalam melihat sosok yang dikehendaki untuk pemimpinya, yakni tidak lagi berorentasi putra daerah atau tidak putra daerah. Namun sosok yang diperlukan saat ini adalah sosok yang mampu dan telah memberikan bukti, bukan hanya sebatas pencitraan. Pemimpin yang sejati harus merakyat bukan selalu memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang selalu memerintah.