Sebagai orang Indonesia, jujur geram rasanya mendengar berita mengenai klaim dari China tentang Kepulauan Natuna. Bisa-bisanya mereka mengusik kedaulatan negara kita tercinta ini. Tidak heran sih, negara kita memang banyak dilirik oleh negara lain karena kekayaan alamnya. Dalam konteks ini, kekayaan biota lautnya. Mereka tidak segan dan berani secara terang-terangan melakukan illegal fishing di perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan saya pernah melihat berita mereka berani melawan petugas patroli kita. Duh, emosi jiwa rasanya.
Menurut data Kementerian Perikanan dan Kelautan, Natuna memiliki potensi hasil laut yang melimpah mulai dari cumi-cumi, lobster, kepiting hingga rajungan. Setiap tahunnya setidaknya ada sekitar 23.499 ton potensi cumi-cumi per tahun di Natuna. Diikuti dengan jumlah potensi lobster yang mencapai 1.421 ton, kepiting, 2.318 ton, dan rajungan 9.711 ton. Â Sedangkan untuk komoditas perikanan di Natuna pun cukup fantastis. Potensi ikan pelagis Kabupaten Natuna mencapai 327.976 ton/tahun, dengan jumlah tangkapan yang dibolehkan sebesar 262.380,8 ton/tahun. Perairan di Natuna pun sangat potensial untuk pengembangan beberapa jenis ikan, diantaranya ikan dari jenis kerapu-kerapuan, tongkol krai, teri, tenggiri, ekor kuning/pisang-pisang, selar, kembung, udang putih/ jerbung, udang windu, kepiting, rajungan, cumi-cumi dan sotong.Â
Tapi, sayangnya pada kenyataannya masih jarang nelayan lokal yang memanfaatkan kekayaan laut di Natuna. Petugas patroli pun tetap rutin melakukan penjagaan di area teritori Indonesia, namun masih saja para nelayan asing itu masih berani mencari selah. Nelayan lokal justru lebih sering melaut di daerah Arafura dan Dobo. Puluhan ribu kapal asing dari Malaysia, Vietnam, Thailand hingga China kerap memanfaatkan peluang untuk melakukan illegal fishing di Natuna. Hal ini salah satunya karena faktor kedekatan secara wilayah geografis dengan perairan Natuna.
Pemerintah pun tidak tinggal diam, protes pun sudah dilayangkan melalui pernyataan resmi oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi kepada pemerintah China. Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, perairan Natuna merupakan wilayah ZEE Indonesia dan Cina tidak memiliki hak apa pun pada perairan tersebut. Pemerintah Indonesia juga tidak membuka ruang untuk negosiasi dengan pemerintah Cina terkait perairan Natuna dan tetap berpegang pada UNCLOS 1982. Â Â
Tidak hanya itu, pemerintah pun memberikan himbauan kepada nelayan di Pantura untuk melaut di Natuna. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan kepada perwakilan nelayan yang datang pada hari Senin, 6 Januari 2020, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Mereka mendapat pengarahan langsung dari Mahfud.
"Saudara, daerah yang dimasuki itu adalah daerah yang kaya dengan sumber daya laut berbagai jenis ikan yang mahal-mahal melimpah di sana dan itu sebenarnya hak Indonesia," kata Mahfud dalam sambutannya. Aksi nyata pun segera dijalankan dengan mengerahkan sebanyak 120 nelayan dari Pantura ke wilayah perairan utara Natuna. Bahkan ratusan pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan di Kabupaten Natuna pun sudah menyatakan sikap untuk mendukung pemerintah RI menindak tegas kapal asing yang memasuki perairan Natuna.
Melihat kasus ini, jujur saya merindukan aksi Menteri Perikanan dan Kelautan terdahulu, Ibu Susi Pudjiastuti dengan aksi tegas berupa penenggelaman kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing di teritori NKRI. Paling tidak, ini sedikit membuat negara lain yang seringkali melanggar paling tidak merasa segan dan gentar untuk melanggar teritori kita. Bu, saya rindu aksi tegas seperti itu. Tenggelamkan sajalah kapal-kapal asing yang melanggar kedaulatan negara kita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H