Beberapa bulan yang lalu, banyak pihak merasa keberatan ketika Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia (RI) Komjen Budi Waseso (Buwas) mengeluarkan pernyataan soal penggunaan narkoba di lingkungan pondok pesantren. Saat itu Buwas menyebutkan santri dan kiai yang melakukan zikir menggunakan ekstasi sebagai doping.
Tak ayal pernyataan tersebut menimbulkan keberatan dari berbagai macam pihak, terutama dari pengasuh pondok pesantren. Ada yang mengatakan hal itu adalah mengada - ada, adapula yang mengatakan bahwa pernyataan ini sebagai peringatan bagi kita bahwa pengedar berusaha masuk ke segala lini termasuk kalangan pesantren agar pengasuh pesantren waspada terhadap peredaran narkotika.
Dilain pihak, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang notabene merupakan lulusan pesantren dan lekat sebagai sosok berlatar Nahdlatul Ulama (NU) mengatakan, "Mereka (santri dan pengasuh pesantren) bukan nge-drug, tetapi ditipu karena (narkoba itu) dibilang vitamin yang diberikan dengan iming - iming membuat para santri lebih kuat tadarus”.
Seiring berjalannya waktu, Pernyatan Budi Waseso ini mulai terbukti kebenarannya. Contohnya, dalam kasus yang menimpa Gatot Brajamusti. Gatot menyebut sabu bukan narkoba kepada jemaahnya, tapi asmat/Aspat (Asap Nikmat) yang merupakan sejenis makanan jin dan juga bisa dikonsumsi manusia. Ironisnya, ada memplesetkan dengan nama "Aspatul Jannah", asap putih dari surga. Berdasarkan penjelasan Gatot kepada penghuni padepokan, aspat dipakai sebagai media menyatukan jin dengan manusia. Dalam prakteknya, Gatot mengisap narkoba bersama jemaahnya.
Salah satu Artis Senior yang pernah menjadi koban Gatot menuturkan, “Kalau saya dari awal tahu dicekokin sabu, saya enggak mau. Dulu kan dibilangnya aspat. Aspat bukan sesuatu yang disembunyikan di sana. Kami memang diberikan. Bukan sesuatu yang kami makan kayak orang nyabu. Cuma sekalilah. Enggak terus-terusan,".
Penulis melihat, gencarnya peredaran narkoba dewasa ini tak lepas dari kelihaian para pengedar dalam memasarkan narkoba ke calon korbannya dengan cara mengelabuinya. Kasus yang banyak terjadi, mereka memperkenalkan narkoba tanpa menyebutkan nama barangnya secara umum. Untuk penyebutan sabu (Metamfetamin) saja banyak istilah bahasa yang berbeda beda antara satu komunitas dengan komunitas lain. Seperti Aspat diatas, Ubas, Micin, Kristal, dll.
Jauh sebelum kasus Gatot menyeruak, sebetulnya di daerah lain sudah banyak terjadi praktek penyimpangan pemahaman agama dalam peredaran narkoba. Penulis sendiri beberapa kali berhubungan dengan mereka yang pernah menjadi korban penyalahguna narkoba.
MR (19 tahun) ini misalnya. Putra seorang kyai kampung disebuah daerah di pesisir timur pantai Sumatera ini telah 2x membakar rumah ayahnya. Pada saat kebakaran pertama, Api berhasil membakar bagian dapur dan sebagian ruangan perpustakaan tempat menyimpan berbagai macam buku dan kitab agama. Selang 40 hari sejak peristiwa kebakaran pertama itu, MR kembali membakar rumahnya untuk kedua kalinya. Naasnya, pada kebakaran kali ini, api berhasil membakar seluruh rumah dan hanya menyisakan dinding tembok rumah orang tuanya.
Kisah lainnya, SK (38 thn) asisten manager di perkebunan, gaji diatas 15 jt sebulan habis tak bersisa untuk beli narkoba. Bahkan pria beranak 1 yang pernah nyantri selama 15 tahun itu selalu menerapkan sunah rosul, "kebersihan itu sebagian sari iman". Aplikasinya, rumah warisan dari orang tuanya senantiasa "bersih". Termasuk atap seng rumahnya yang dia jual sedikit demi sedikit untuk beli narkoba.
Sampai tulisan ini ditulis, keduanya baik SK maupun MR telah tobat dari jeratan narkoba. MR melanjutkan usaha orangtuanya dan sekali kali masih menjadi relawan anti narkoba didaerahnya. Sedangkan SK sudah 2 tahun ini aktif sebagai konselor disebuah lembaga komponen masyarakat yang bergerak dibidang rehabilitasi bagi pecandu narkoba.
Kenapa bisa terjadi ?