Di dunia ini, tidak ada kecemburuan yang lebih beringas, yang menyulut api dari sumbu hati seseorang sehingga dalam sekejap dapat membakar dirinya sendiri, selain kecemburuan Suzanah Mustofa, kekasihku saat ini.
Dan, aku tidak pernah, mungkin tidak akan pernah, memahami betapa besarnya amarah yang bisa terpicu hanya karena aku bercerita kepadanya, saat kuhampiri dia di apartemennya, tentang perempuan yang kebetulan berpapasan denganku sepulang kerja.
Perempuan itu bukan siapa-siapa, bahkan aku tak mengenalnya. Namun wajahnya, ia mirip Melia Andriani, sebuah kemiripan yang hanya sekilas. Kami pun hanya kebetulan berpapasan, tidak menyapa, apalagi bercakap-cakap, sebab perempuan itu memang bukanlah Melia Andriani. Namun entah, Suzanah Mustofa begitu marah. Marahnya pun bukan marah biasa, melainkan marah yang benar-benar marah.
"Sudah berapa kali aku harus bilang, Mas Teguh Sofyan, jangan menyebut nama itu lagi!" Suzanah Mustofa berkata dengan suara yang meledak-ledak. Matanya menyalang tajam seperti bara ditimbun dendam.
"Kau terus saja keras kepala, memikirkan dia terus-menerus. Sekarang coba katakan, apa yang sudah dia lakukan selain meninggalkanmu, hah?! Sadarlah, Mas. Dia meninggalkanmu dalam keadaan hancur. Ingatlah itu!"
Aku diam. Tidak ada kata yang bisa kuucapkan sebab kata-kataku selalu kalah sebelum sempat beradu meski aku ingin menjelaskan lagi kepadanya, dan berkali-kali juga telah kujelaskan kepadanya, bahwa Melia Andriani pun dalam keadaan hancur. Namun, Suzanah Mustofa tidak pernah ingin mendengar tentang Melia Andriani lagi, apalagi memahaminya.
Melia Andriani bukan sekadar kenangan, dia pernah menjadi bagian dari diriku yang keberadaannya tak pernah benar-benar surut. Meski kami berpisah dengan alasan yang tak bisa kuterima sampai kini, bukan karena dia tidak mencintaiku, bukan pula karena aku tidak cukup mencintainya, tetapi dia memilih pergi dan memilih menyakiti hatinya sendiri demi melindungiku.
"Aku tidak ingin membuatmu menderita." Melia Andriani berkata kala itu. Suaranya sangat lemah ketika dia mengungkapkan bahwa kanker yang menggerogoti tubuhnya akan selalu kembali, penyakit yang tidak hanya menghabisi tubuhnya sedikit demi sedikit, tetapi juga merampas segala mimpi yang pernah kami rajut bersama.
"Setiap kali rasa sakit ini datang, aku hanya bisa berpikir, apa gunanya bertahan jika akhirnya aku hanya akan menjadi bebanmu?"
Aku terdiam, membiarkan kata-katanya menancap seperti belati.