Ada sesuatu yang ganjil sekaligus memikat dalam cara manusia memandang rasa sakit. Kita menghindarinya, melawan, bahkan menciptakan perisai untuk melindungi diri darinya, tetapi di sisi lain, ada yang rela menghadapinya, memeluknya, dan menemukan makna di dalamnya.
Fenomena ini, yang dalam ranah psikologi dikenal sebagai masokisme, menjadi tema yang menarik sekaligus provokatif dalam dunia sastra. Dalam karya-karya tertentu, masokisme tidak hanya menjadi bagian dari alur cerita, tetapi juga menawarkan ruang eksplorasi untuk memahami kedalaman jiwa manusia: bagaimana penderitaan dapat menjadi alat introspeksi, medium ekspresi, bahkan sebuah bentuk seni.
Masokisme, istilah yang diambil dari nama Leopold von Sacher-Masoch, penulis Austria abad ke-19, pertama kali dikenalkan oleh Richard von Krafft-Ebing dalam buku Psychopathia Sexualis.Â
Sacher-Masoch dikenal lewat novel Venus in Furs, yang secara gamblang menggambarkan relasi antara rasa sakit, pengabdian, dan kekuasaan. Dalam cerita tersebut, Severin, tokoh utama, secara sadar menyerahkan dirinya untuk didominasi oleh Wanda, wanita yang ia idolakan. Melalui narasi yang penuh nuansa dan deskripsi emosional, Sacher-Masoch tidak hanya memperkenalkan konsep masokisme, tetapi juga menjadikannya simbol dalam sastra.
Namun, masokisme dalam sastra bukan sekadar tentang rasa sakit fisik. Ia mencakup penderitaan emosional, psikologis, bahkan eksistensial yang dialami karakter-karakter dalam cerita.Â
Fyodor Dostoevsky, misalnya, melalui Crime and Punishment, menghadirkan potret penderitaan batin seorang pembunuh, Raskolnikov, yang dilanda rasa bersalah yang menghancurkan dirinya.Â
Dalam konteks ini, penderitaan menjadi bentuk hukuman yang jauh lebih berat daripada apa pun yang bisa diberikan oleh dunia luar. Narasi Dostoevsky begitu tajam dan mendalam sehingga pembaca hampir bisa merasakan beban moral yang dialami Raskolnikov, menciptakan empati yang luar biasa terhadap karakter yang secara moral ambigu.
Tidak hanya di Barat, sastra Indonesia juga memiliki sentuhan masokisme dalam beberapa karyanya. Salah satu contohnya adalah Atheis karya Achdiat K. Mihardja, di mana Hasan, tokoh utamanya, mengalami pergulatan batin yang kompleks antara iman dan ideologi. Konflik yang ia alami tidak hanya menyentuh ranah intelektual, tetapi juga menyiksa secara emosional, memaksanya untuk menghadapi kehilangan dan keraguan yang mendalam.Â
Dalam novel ini, masokisme hadir dalam bentuk pencarian makna hidup yang penuh penderitaan, menjadikan pengalaman membaca tidak hanya menggugah, tetapi juga menguras emosi.
Di tangan para penulis besar, masokisme menjadi alat untuk menggali kompleksitas manusia, dari relasi kuasa hingga pertempuran batin yang tak kunjung usai. Yukio Mishima, misalnya, melalui Confessions of a Mask, menghadirkan tema masokisme dalam konteks identitas seksual dan konflik internal.Â