Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Masokisme dalam Keindahan Sastra

4 Desember 2024   15:23 Diperbarui: 5 Desember 2024   13:56 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencari keterkaitan antara masokisme dan sastra | Sumber gambar: Pixabay/Stefan Keller

Dengan gaya bahasa yang puitis dan melankolis, Mishima menggambarkan bagaimana tokoh utamanya bergulat dengan hasrat yang bertentangan dengan norma masyarakat. Penderitaan tokoh ini menjadi medium untuk memahami bagaimana identitas terbentuk melalui rasa sakit yang tak terelakkan.

Masokisme dalam sastra juga memancing berbagai reaksi dari kritikus. Sebagian memuji tema ini sebagai eksplorasi mendalam tentang sisi gelap manusia yang sering kali diabaikan. Penderitaan, bagi para penulis yang mengangkat tema ini, bukan sekadar elemen naratif, tetapi juga cermin untuk melihat konflik batin, relasi sosial, dan struktur kekuasaan yang lebih besar. 

Di sisi lain, beberapa kritikus menilai glorifikasi penderitaan dalam sastra masokistik sebagai sesuatu yang problematis. Mereka khawatir bahwa penggambaran penderitaan yang estetis dapat menciptakan ilusi bahwa rasa sakit adalah sesuatu yang indah atau bahkan patut dikejar, meskipun kenyataannya destruktif.

Akan tetapi, sastra selalu beroperasi di antara ambiguitas. Dalam karya-karya bertema masokisme, tidak ada jawaban pasti tentang apakah penderitaan adalah musuh yang harus dilawan atau elemen yang harus diterima. 

Sebaliknya, karya-karya ini mendorong pembaca untuk merenungkan hubungan mereka sendiri dengan rasa sakit: Apakah penderitaan selalu negatif? Ataukah ia memiliki makna yang lebih besar dalam perjalanan hidup manusia? 

Melalui narasi yang penuh emosi, sastra masokistik membuka ruang untuk diskusi filosofis yang mendalam, sering kali tanpa menawarkan solusi konkret, tetapi cukup dengan menggugah pertanyaan.

Jika kita melihat ke belakang, banyak karya yang secara tidak langsung memuat elemen masokisme meskipun tidak menyebutnya secara eksplisit. Drama seperti A Streetcar Named Desire karya Tennessee Williams, misalnya, mengisahkan Blanche DuBois yang jatuh dari kehidupan mewah menjadi kenyataan pahit, penuh penghinaan dan penderitaan. Blanche adalah potret seseorang yang terperangkap dalam ilusi masa lalu, menjadikan dirinya korban sekaligus pelaku dalam kehancurannya sendiri. Masokisme emosional yang dialami Blanche mencerminkan bagaimana realitas sosial yang keras dapat menghancurkan seseorang dari dalam.

Di Indonesia, tema ini juga menemukan tempatnya di tengah pergolakan sosial dan budaya. Dalam novel Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka, meskipun lebih banyak membahas cinta dan iman, elemen penderitaan yang kuat hadir dalam bagaimana tokoh-tokohnya menerima nasib mereka. 

Dalam konteks ini, masokisme hadir sebagai penerimaan terhadap takdir, suatu bentuk penderitaan yang dilalui dengan kesadaran penuh. Karya ini menggambarkan bahwa masokisme tidak selalu negatif; ia bisa menjadi bentuk penerimaan yang mendalam terhadap perjalanan hidup.

Lebih jauh, masokisme dalam sastra menjadi alat introspeksi untuk memahami konteks sosial dan budaya yang melingkupi karya tersebut. Dalam novel Belenggu karya Armijn Pane, misalnya, konflik batin tokoh-tokohnya tidak hanya menggambarkan rasa sakit emosional, tetapi juga tekanan sosial yang membelenggu mereka. Karya ini menawarkan pandangan bahwa penderitaan individu sering kali mencerminkan ketidakadilan sistem yang lebih besar.

Membaca karya-karya bertema masokisme adalah pengalaman yang sering kali tidak nyaman, tetapi justru di situlah letak keindahannya. Sastra masokistik memaksa pembaca untuk menghadapi sisi manusia yang rapuh, rentan, dan penuh kontradiksi. Di saat yang sama, ia juga mengajarkan bahwa dalam rasa sakit, ada pelajaran yang dapat dipetik, ada makna yang dapat ditemukan, dan ada keindahan yang, meskipun menyakitkan, tetap layak untuk direnungkan. Dalam tangan penulis yang terampil, masokisme menjadi lebih dari sekadar tema; ia menjadi jembatan untuk memahami kompleksitas manusia yang sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun