Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Masokisme dalam Keindahan Sastra

4 Desember 2024   15:23 Diperbarui: 4 Desember 2024   15:35 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencari keterkaitan antara masokisme dan sastra | sumber gambar pixabay

Ada sesuatu yang ganjil sekaligus memikat dalam cara manusia memandang rasa sakit. Kita menghindarinya, melawan, bahkan menciptakan perisai untuk melindungi diri darinya, tetapi di sisi lain, ada yang rela menghadapinya, memeluknya, dan menemukan makna di dalamnya.

Fenomena ini, yang dalam ranah psikologi dikenal sebagai masokisme, menjadi tema yang menarik sekaligus provokatif dalam dunia sastra. Dalam karya-karya tertentu, masokisme tidak hanya menjadi bagian dari alur cerita, tetapi juga menawarkan ruang eksplorasi untuk memahami kedalaman jiwa manusia: bagaimana penderitaan dapat menjadi alat introspeksi, medium ekspresi, bahkan sebuah bentuk seni.

Masokisme, istilah yang diambil dari nama Leopold von Sacher-Masoch, penulis Austria abad ke-19, pertama kali dikenalkan oleh Richard von Krafft-Ebing dalam buku Psychopathia Sexualis. Sacher-Masoch dikenal lewat novel Venus in Furs, yang secara gamblang menggambarkan relasi antara rasa sakit, pengabdian, dan kekuasaan. Dalam cerita tersebut, Severin, tokoh utama, secara sadar menyerahkan dirinya untuk didominasi oleh Wanda, wanita yang ia idolakan. Melalui narasi yang penuh nuansa dan deskripsi emosional, Sacher-Masoch tidak hanya memperkenalkan konsep masokisme, tetapi juga menjadikannya simbol dalam sastra.

Namun, masokisme dalam sastra bukan sekadar tentang rasa sakit fisik. Ia mencakup penderitaan emosional, psikologis, bahkan eksistensial yang dialami karakter-karakter dalam cerita. Fyodor Dostoevsky, misalnya, melalui Crime and Punishment, menghadirkan potret penderitaan batin seorang pembunuh, Raskolnikov, yang dilanda rasa bersalah yang menghancurkan dirinya. Dalam konteks ini, penderitaan menjadi bentuk hukuman yang jauh lebih berat daripada apa pun yang bisa diberikan oleh dunia luar. Narasi Dostoevsky begitu tajam dan mendalam sehingga pembaca hampir bisa merasakan beban moral yang dialami Raskolnikov, menciptakan empati yang luar biasa terhadap karakter yang secara moral ambigu.

Tidak hanya di Barat, sastra Indonesia juga memiliki sentuhan masokisme dalam beberapa karyanya. Salah satu contohnya adalah Atheis karya Achdiat K. Mihardja, di mana Hasan, tokoh utamanya, mengalami pergulatan batin yang kompleks antara iman dan ideologi. Konflik yang ia alami tidak hanya menyentuh ranah intelektual, tetapi juga menyiksa secara emosional, memaksanya untuk menghadapi kehilangan dan keraguan yang mendalam. Dalam novel ini, masokisme hadir dalam bentuk pencarian makna hidup yang penuh penderitaan, menjadikan pengalaman membaca tidak hanya menggugah, tetapi juga menguras emosi.

Di tangan para penulis besar, masokisme menjadi alat untuk menggali kompleksitas manusia, dari relasi kuasa hingga pertempuran batin yang tak kunjung usai. Yukio Mishima, misalnya, melalui Confessions of a Mask, menghadirkan tema masokisme dalam konteks identitas seksual dan konflik internal. Dengan gaya bahasa yang puitis dan melankolis, Mishima menggambarkan bagaimana tokoh utamanya bergulat dengan hasrat yang bertentangan dengan norma masyarakat. Penderitaan tokoh ini menjadi medium untuk memahami bagaimana identitas terbentuk melalui rasa sakit yang tak terelakkan.

Masokisme dalam sastra juga memancing berbagai reaksi dari kritikus. Sebagian memuji tema ini sebagai eksplorasi mendalam tentang sisi gelap manusia yang sering kali diabaikan. Penderitaan, bagi para penulis yang mengangkat tema ini, bukan sekadar elemen naratif, tetapi juga cermin untuk melihat konflik batin, relasi sosial, dan struktur kekuasaan yang lebih besar. Di sisi lain, beberapa kritikus menilai glorifikasi penderitaan dalam sastra masokistik sebagai sesuatu yang problematis. Mereka khawatir bahwa penggambaran penderitaan yang estetis dapat menciptakan ilusi bahwa rasa sakit adalah sesuatu yang indah atau bahkan patut dikejar, meskipun kenyataannya destruktif.

Akan tetapi, sastra selalu beroperasi di antara ambiguitas. Dalam karya-karya bertema masokisme, tidak ada jawaban pasti tentang apakah penderitaan adalah musuh yang harus dilawan atau elemen yang harus diterima. Sebaliknya, karya-karya ini mendorong pembaca untuk merenungkan hubungan mereka sendiri dengan rasa sakit: Apakah penderitaan selalu negatif? Ataukah ia memiliki makna yang lebih besar dalam perjalanan hidup manusia? Melalui narasi yang penuh emosi, sastra masokistik membuka ruang untuk diskusi filosofis yang mendalam, sering kali tanpa menawarkan solusi konkret, tetapi cukup dengan menggugah pertanyaan.

Jika kita melihat ke belakang, banyak karya yang secara tidak langsung memuat elemen masokisme meskipun tidak menyebutnya secara eksplisit. Drama seperti A Streetcar Named Desire karya Tennessee Williams, misalnya, mengisahkan Blanche DuBois yang jatuh dari kehidupan mewah menjadi kenyataan pahit, penuh penghinaan dan penderitaan. Blanche adalah potret seseorang yang terperangkap dalam ilusi masa lalu, menjadikan dirinya korban sekaligus pelaku dalam kehancurannya sendiri. Masokisme emosional yang dialami Blanche mencerminkan bagaimana realitas sosial yang keras dapat menghancurkan seseorang dari dalam.

Di Indonesia, tema ini juga menemukan tempatnya di tengah pergolakan sosial dan budaya. Dalam novel Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka, meskipun lebih banyak membahas cinta dan iman, elemen penderitaan yang kuat hadir dalam bagaimana tokoh-tokohnya menerima nasib mereka. Dalam konteks ini, masokisme hadir sebagai penerimaan terhadap takdir, suatu bentuk penderitaan yang dilalui dengan kesadaran penuh. Karya ini menggambarkan bahwa masokisme tidak selalu negatif; ia bisa menjadi bentuk penerimaan yang mendalam terhadap perjalanan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun