Uang---sebuah koin, selembar kertas, atau digit di layar---merupakan simbol nilai, kekuatan, dan kebebasan. Ia adalah salah satu penemuan paling mengesankan dalam sejarah umat manusia, namun juga salah satu yang paling ilusi dan berlawanan dengan intuisi. Kita semua terpengaruh olehnya. Dalam skala individu maupun kolektif, hampir seluruh umat manusia hidup di bawah pengaruh aliran uang yang tak berwujud.
Memaknai Uang
Secara sederhana, uang berfungsi dalam tiga hal: sebagai alat tukar; penyimpan nilai; dan unit hitung. Sebagai alat tukar, uang dapat ditukarkan dengan barang dan jasa. Sebagai penyimpan nilai, uang mempertahankan nilainya seiring waktu, sehingga bisa digunakan di masa depan. Sebagai unit hitung, uang memberikan ukuran nilai yang umum untuk membandingkan harga dan menentukan nilai barang dan jasa.
Sebelum adanya uang, sistem barter digunakan untuk perdagangan sebagai alat transaksi. Namun, barter memiliki kelemahan besar dan sangat rentan terhadap asimetri kebutuhan sebab ada yang disebut "keinginan bersamaan" (double coincidence of wants), yaitu kondisi di mana dua pihak harus memiliki barang atau jasa yang diinginkan satu sama lain pada waktu yang sama untuk dapat melakukan pertukaran---tetapi keselarasan ini jarang terjadi. Uang muncul sebagai solusi untuk mengatasi ketidakefisienan dalam sistem barter, dan nilainya ditentukan oleh kesepakatan sosial yang membuat transaksi lebih mudah.
Filsafat Uang
Cara kita menangani uang memberikan wawasan mendalam tentang siapa diri kita. Lebih dari itu, uang bisa menjadi alat untuk menemukan dan mengoptimalkan wawasan ini. Cara seseorang memperlakukan uang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilainya. Ketika nilai dan perilaku terhadap uang selaras, uang dapat mencerahkan dan memperkuat prinsip hidup seseorang. Namun, hal ini tidak selalu terjadi secara otomatis. Jika keselarasan belum tercapai, maka seharusnya tujuan kita adalah menciptakannya, artinya menemukan keseimbangan antara keinginan pribadi, memahami diri sendiri lebih baik, mengendalikan dorongan hati, dan mewujudkan visi hidup yang unik.
Selain fungsi utamanya, yaitu sebagai alat tukar, penyimpan nilai, dan unit hitung, uang juga memiliki fungsi sekunder yang tak kalah penting, yaitu sebagai sarana kejelasan, fokus, disiplin, dan kontrol. Namun, ini tentu saja menghadirkan tantangan yang tidak sedikit.
Pertama, kita semua dilahirkan dalam keadaan yang berbeda. Setiap orang lahir di tempat tertentu, dengan genetika tertentu, dari orang tua dengan nilai dan sumber daya yang bervariasi, pada waktu tertentu dalam sejarah. Secara kolektif, keadaan-keadaan ini membentuk siapa kita, baik dalam hal keterbatasan maupun peluang. Lingkungan tempat kita dibesarkan membentuk pandangan kita tentang dunia, termasuk bagaimana kita memahami dan berperilaku terhadap uang. Oleh karena itu, setiap orang memulai dari titik yang berbeda, baik dalam hal sumber daya finansial maupun tujuan, dan semua itu didasarkan pada kesempatan yang dimiliki. Ini adalah realitas penting yang harus diakui.
Namun, siapa pun kita, tidak ada yang bisa memiliki segalanya. Dalam konteks ini, uang menjadi hal yang menarik sekaligus berpotensi menimbulkan masalah, karena meskipun terbatas, ada kesan bahwa kita selalu bisa mendapatkan lebih banyak uang.
Fenomena ini membuat kita mudah menjalani hidup yang sepenuhnya digerakkan oleh uang, yang pada akhirnya bertentangan dengan sifat keberadaan kita---sebuah kehidupan yang singkat dan cepat berlalu, yang akan berakhir tanpa kita bisa membawa apa pun ke dunia selanjutnya.
Jika kita beruntung, selama hidup kita mungkin bisa mencapai beberapa hal besar, seperti kepuasan batin, kelimpahan materi, hubungan keluarga yang erat, persahabatan yang abadi, status, perjalanan ke berbagai tempat, pencapaian karier yang mengesankan, ketenaran, atau bahkan meninggalkan warisan. Orang-orang yang benar-benar beruntung mungkin akan mendapatkan beberapa dari hal ini meski tetap tidak bisa semuanya. Untuk mendapatkan apa pun yang kita inginkan, kita harus memilih dan memprioritaskan.
Sering dikatakan bahwa "waktu adalah uang." Jika itu benar, maka sebaliknya juga berlaku: uang adalah waktu. Dengan demikian, cara kita mengejar dan membelanjakan uang harus berkorelasi erat dengan cara kita menghabiskan dan menghargai waktu. Pilihan seputar uang, tentang bagaimana kita memperolehnya, menabungnya, menginvestasikannya, dan membelanjakannya, sejatinya adalah pilihan filosofis. Dengan menentukan apa yang kita inginkan dari uang, kita juga menentukan apa yang kita inginkan dari kehidupan.
Uang dan Kebahagiaan
Sebagian besar dari kita mungkin mengincar kebahagiaan dalam hidup. Namun, kebahagiaan adalah istilah yang sering kali disederhanakan dan berubah-ubah, sehingga sulit untuk mendefinisikannya secara universal. Untuk keperluan ini, kita akan menggunakan istilah "kebahagiaan" sebagai acuan umum untuk menggambarkan emosi positif yang sering muncul dalam hidup, atau perasaan positif dan kepuasan terhadap hidup seseorang.
Meskipun tidak semua orang percaya bahwa kebahagiaan adalah kondisi ideal atau abadi, tidak dapat dipungkiri bahwa memiliki kualitas hidup yang lebih baik, kesejahteraan yang lebih tinggi, serta rasa kepuasan terhadap hidup adalah hal yang diinginkan oleh banyak orang. Oleh karena itu, demi kemudahan, kita akan menyatukan semua konsep ini di bawah istilah "kebahagiaan."
Karena kebahagiaan adalah keinginan dasar bagi banyak orang, masuk akal jika bagi sebagian besar dari kita, pencarian uang pada tingkat tertentu sering kali berkaitan dengan pencarian kebahagiaan.
Bagaimana Kita Menggunakan Uang
Dengan asumsi bahwa tujuan umum dalam hidup adalah mendapatkan pengalaman positif, terdapat ide-ide yang cukup konsisten dalam penelitian kontemporer dan literatur filosofis yang dapat kita pelajari untuk membantu kita membuat keputusan yang lebih baik tentang bagaimana seharusnya kita berupaya, menggunakan, dan mempertimbangkan uang.
Pertama, kita memang membutuhkan uang. Di beberapa kalangan, mungkin ada pandangan bahwa uang bersifat negatif, koruptif, atau bertentangan dengan kebahagiaan. Meskipun ini bisa benar dalam beberapa kasus, secara umum memiliki uang penting dan berkontribusi terhadap kebahagiaan.
Banyak yang percaya bahwa kebahagiaan (khususnya kebahagiaan sehari-hari) bisa ditingkatkan dengan uang, namun dampaknya akan menurun setelah kebutuhan dasar terpenuhi, dan kebahagiaan tidak akan berubah. Namun, penelitian menunjukkan bahwa kebahagiaan terus meningkat seiring dengan pendapatan yang melebihi kebutuhan dasar hidup tahunan. Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang, lebih banyak uang memang dapat meningkatkan kebahagiaan. Tetapi bagi orang yang umumnya tidak bahagia, hal ini tidak selalu berlaku---pada titik tertentu, kebahagiaan mereka tidak lagi meningkat seiring bertambahnya pendapatan.
Terlepas dari jumlah uang yang dimiliki atau kelompok mana seseorang berada---umumnya bahagia atau tidak---bukan hanya memiliki uang yang menentukan kebahagiaan seseorang. Yang penting adalah bagaimana seseorang memandang, mengejar, dan menggunakan uang. Bagian ini mungkin bertentangan dengan intuisi kita.
Kembali ke tahun 300 SM, filsuf Yunani kuno Epicurus memberikan wawasan mendasar tentang topik kebahagiaan dan uang. Epicurus adalah seorang hedonis, yang percaya bahwa kesenangan pribadi adalah satu-satunya hal yang intrinsik berharga. Bagi Epicurus, apa yang menyenangkan adalah hal yang baik secara moral. Namun, ini bukan dikotomi yang mudah, dan Epicurus memahami spektrum kesenangan ketika ia menulis:
"Kesenangan adalah kebaikan pertama dan utama. Ini adalah titik awal dari setiap pilihan dan penghindaran, dan kita kembali ke sana, karena kita menggunakan perasaan untuk menilai apa yang baik. Namun, meskipun kesenangan itu baik, tidak semua kesenangan layak dipilih. Kadang-kadang kita menghindari kesenangan jika hal itu menyebabkan rasa sakit yang lebih besar. Sebaliknya, kita kadang-kadang menanggung rasa sakit demi mencapai kesenangan yang lebih besar di masa depan."
Dalam hal mencapai kesenangan, Epicurus membagi keinginan menjadi tiga kategori: keinginan alami dan perlu, keinginan alami namun tidak perlu, serta keinginan sia-sia dan kosong.
Keinginan alami dan perlu mencakup hal-hal seperti makan dan tempat tinggal. Keinginan alami namun tidak perlu mencakup hal-hal seperti makanan mewah atau rumah besar. Kita membutuhkan makanan dan tempat tinggal, tetapi tidak dalam bentuk yang mewah. Sementara itu, keinginan yang sia-sia adalah hal-hal seperti kekayaan materi berlebihan, kekuasaan, dan ketenaran.
Menurut Epicurus, keinginan yang diperlukan relatif mudah dipenuhi karena mereka mendasar dan kebutuhan untuk memenuhinya terbatas. Misalnya, seseorang hanya bisa makan dalam jumlah tertentu dalam sehari. Selain itu, keinginan ini memberikan kepuasan terbesar karena mendekati sifat alami manusia dan menjauhkan kita dari rasa sakit. Sebaliknya, keinginan yang tidak perlu lebih sulit dicapai dan hanya memberikan peningkatan kepuasan yang kecil. Hal-hal ini masih dapat dinikmati kapan pun memungkinkan, tetapi tidak bisa diandalkan untuk kebahagiaan yang berkelanjutan. Adapun keinginan sia-sia, mereka hampir tidak mungkin dipenuhi karena kepuasan mereka tidak memiliki batas.
Epicurus berargumen bahwa kebahagiaan terbaik, yang ia sebut "kesenangan statis," tercapai ketika tidak ada lagi rasa sakit, dan rasa sakit ini muncul dari keinginan yang tidak terpenuhi. Karena keinginan sia-sia tidak pernah bisa benar-benar dipuaskan, mereka justru menimbulkan rasa sakit.
Epicurus menulis, "Orang yang memiliki pemahaman yang jelas tentang hal ini akan mengarahkan setiap preferensi dan kebenciannya untuk menjaga kesehatan tubuh dan ketenangan pikiran, karena ini adalah puncak dan akhir dari kehidupan yang bahagia. Karena tujuan dari semua tindakan kita adalah terbebas dari rasa sakit dan ketakutan. Setelah mencapai hal ini, jiwa akan tenang dan tidak perlu mencari lebih banyak hal untuk mencapai kebahagiaan."
Kebijaksanaan Epicurus ini tetap relevan hingga saat ini. Konsep modern dalam psikologi, seperti "treadmill hedonis" atau adaptasi hedonis, mencerminkan sebagian dari gagasan Epicurus. Treadmill hedonis menunjukkan bahwa setelah peristiwa besar dalam hidup, baik positif maupun negatif, kebahagiaan seseorang cenderung kembali ke tingkat dasar yang stabil. Ini berarti, meskipun seseorang memperoleh kekayaan atau materi, kebahagiaan sehari-hari mereka cenderung kembali ke keadaan sebelumnya setelah batas tertentu tercapai.
Jika bukan kekayaan materi, ketenaran, atau kemewahan yang membawa kebahagiaan, lalu apa guna uang?
Pertama, uang bisa bermanfaat untuk banyak hal. Nilai utama uang adalah kemampuannya untuk memungkinkan kita fokus pada apa yang benar-benar kita hargai. Jadi, jika seseorang menghargai makanan mewah, status sosial, atau kelimpahan materi, uang akan membantu mencapai hal tersebut. Namun, hasil akhirnya mungkin tidak selalu kebahagiaan atau kepuasan jangka panjang.
Sebuah studi yang diterbitkan oleh British Journal of Social Psychology pada tahun 2022 meneliti dampak uang terhadap kebahagiaan, dengan menyoroti perbedaan antara tujuan intrinsik dan ekstrinsik. Tujuan ekstrinsik biasanya terkait dengan keinginan yang dipengaruhi oleh harapan orang lain atau norma sosial, sementara tujuan intrinsik lebih berkaitan dengan motivasi pribadi.
Para peneliti menemukan bahwa ketika uang digunakan untuk mencapai tujuan intrinsik, peserta melaporkan peningkatan kesejahteraan yang lebih tinggi. Namun, ketika uang digunakan untuk tujuan ekstrinsik, dampaknya terhadap kebahagiaan jauh lebih kecil.
Nilai Instrinsik dan Ekstrinsik Uang
Penelitian menunjukkan bahwa hal-hal yang memiliki nilai intrinsik cenderung berkaitan dengan pengalaman baru, hubungan yang kuat, pertumbuhan dan perkembangan pribadi, serta memberi manfaat bagi orang lain. Thomas Gilovich, seorang profesor psikologi di Cornell University, menyatakan bahwa banyak orang beranggapan membelanjakan uang untuk pengalaman adalah keputusan yang kurang bijaksana dibandingkan membeli barang. Mereka berpikir bahwa pengalaman cepat berlalu, sedangkan barang bisa dimiliki lebih lama. Namun, kenyataannya justru sebaliknya: kita lebih mudah mengingat dan menghargai pengalaman lama daripada harta benda, yang cepat menjadi hal biasa dalam kehidupan kita.
Selain itu, kita sering lebih menikmati antisipasi terhadap pengalaman yang akan datang daripada antisipasi memiliki barang baru. Dalam konteks yang lebih luas, nilai-nilai intrinsik yang bisa kita wujudkan dengan uang meliputi dua hal mendasar: waktu dan kebebasan.
Penulis Morgan Housel mengatakan, "Gunakan uang untuk mengendalikan waktu Anda, karena tidak memiliki kendali atas waktu adalah hambatan yang kuat dan universal terhadap kebahagiaan. Kemampuan untuk melakukan apa pun yang kita inginkan, kapan pun, dengan siapa pun, selama yang kita inginkan, adalah keuntungan tertinggi di bidang keuangan."
Uang yang digunakan untuk mengendalikan waktu dan mendapatkan kebebasan lebih besar dapat meningkatkan kebahagiaan karena uang tersebut membantu mengurangi sisi negatif kehidupan---mengurangi kekhawatiran, ketidaknyamanan, dan kewajiban yang tidak diinginkan. Dengan lebih banyak waktu dan kebebasan, seseorang dapat mengarahkan energi pada nilai-nilai intrinsiknya, yang pada gilirannya meningkatkan pandangan dan kepuasan hidup. Oleh karena itu, uang bukan hanya tentang apa yang bisa diperoleh secara materi, tetapi juga tentang apa yang bisa dipertahankan secara pribadi---waktu, minat, hubungan, dan ketenangan pikiran.
Pada akhirnya, kita tidak bisa membawa apa pun---baik itu uang, harta benda, prestasi, maupun waktu kita. Keberadaan kita terbatasi oleh kumpulan fisik yang pada akhirnya akan terurai. Maka, apa gunanya uang---apakah banyak atau sedikit---jika bukan untuk membantu mencapai kebahagiaan, makna, dan kesejahteraan pribadi selama kita masih ada di sini?
Tentu, ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Hubungan seseorang dengan uang seringkali dipengaruhi oleh banyak faktor. Bagaimana seseorang mengukur masa kini dengan masa depan ketika mempertimbangkan filosofinya tentang uang? Bagaimana seseorang mengetahui apa yang benar-benar mereka hargai? Bagaimana seseorang membedakan apakah pandangan hidup mereka benar-benar milik mereka atau merupakan pengaruh dari harapan sosial yang sangat terjalin? Bagaimana seseorang memperoleh cukup uang untuk mencapai kebahagiaan tanpa terjebak dalam pengejaran uang yang tanpa akhir dan justru bertentangan dengan kebahagiaan?
Seperti banyak aspek dalam kehidupan manusia, hubungan dengan uang penuh dengan paradoks yang menantang. Bagaimanapun, kita hanya bisa berusaha sebaik mungkin, dan harus melakukannya dengan bijak. Jika tidak, kita berisiko menjadi kisah tragis yang diceritakan di ranjang kematian orang lain.
--- Â
Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H