Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pandangan Umum terhadap Moralitas, Sudah Selaraskah?

6 Februari 2024   19:22 Diperbarui: 8 Februari 2024   16:30 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Menimbang moralitas. Ilustrasi(Sumber gambar: KOMPAS.ID/HERYUNANTO)

Secara definisi, moralitas berkaitan dengan hal yang dianggap benar dan dapat diterima oleh masyarakat secara luas.

Moralitas adalah standard pemikiran, perilaku, dan tindakan yang disetujui oleh semua orang dalam suatu kelompok agar masyarakat dapat hidup dengan damai. 

Jika didefinisikan seperti itu, moralitas memang terdengar seperti hukum. Namun, meskipun hukum dipengaruhi oleh moral, kedua hal tersebut tidaklah sama. 

Hukum dan Moralitas

Pada sebuah kasus, misalnya, jika seseorang mencuri, lalu hasil curiannya diberikan kepada orang miskin yang kelaparan, apakah itu perbuatan yang benar atau salah? 

Kasus lainnya, jika seseorang mengemudikan mobil melebihi batas kecepatan untuk membawa orang yang sakit sekarat ke rumah sakit, apakah itu termasuk perbuatan benar atau salah? 

Terlepas benar ataupun salah, apakah kedua tindakan tersebut merupakan bagian dari pelanggaran hukum atau moralitas?

Terkait hukum dan moralitas, meski mencuri adalah sebuah kejahatan dan melanggar hukum, tetapi secara moral, sebagian orang kemudian menjadi mempertimbangkan tindakan tersebut jika dialaskan pada argumentasi bahwa seorang tunawisma terpaksa mencuri sepotong roti, misalnya, karena menyelamatkan anak-anaknya dari kelaparan. 

Demikian pula dengan seseorang yang mengemudi kendaraan melebihi batas wajar kecepatan yang merupakan tindakan melanggar aturan, tetapi ketika dilakukan karena alasan menyelamatkan seseorang yang sakit parah untuk dibawa ke rumah sakit, hal itu bisa saja dianggap sebagai perilaku yang bermoral.

Meskipun hukum dan moralitas berbeda, karena hukum dibuat secara tertulis, sedangkan moralitas tidak, tetapi sebenarnya keduanya sangat mirip. 

Baik moralitas maupun hukum, keduanya dibangun atas dasar rasa hormat terhadap seluruh umat manusia serta otonomi atas kehidupan, harta benda, dan kepercayaan. 

Keduanya juga secara signifikan dapat memandu perilaku orang-orang yang tinggal di suatu komunitas sehingga semua orang dapat hidup bersama dengan cara yang paling damai. 

Namun, seringkali hukum mengungkapkan moralitas pada waktu dan tempat tertentu. Sebagai contoh tentang aturan meminum alkohol di negara kita. 

Ilustrasi terkait moralitas, seseorang yang terpaksa mencuri roti untuk anaknya yang kelaparan  | sumber gambar istockphoto
Ilustrasi terkait moralitas, seseorang yang terpaksa mencuri roti untuk anaknya yang kelaparan  | sumber gambar istockphoto

Aturan minuman keras di Indonesia telah lama menjadi perdebatan. Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokratisasi, Indonesia juga negara bermayoritas muslim yang melarang meminum khamr atau alkohol. 

Selanjutnya, ketika moralitas bergeser ke arah toleransi bagi orang-orang yang menikmatinya, hukum pun ikut berubah. 

Presiden Joko Widodo secara resmi telah melegalkan investasi untuk industri minuman keras (miras). Aturan ini tertuang dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. 

Aturan tersebut dibuat atas dasar karena kesepakatan konsumsi alkohol berlaku untuk kepentingan terbatas, yaitu meliputi kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. 

Lantas  pertanyaan selanjutnya, apakah aturan hukum tersebut lahir karena alasan moralitas atau hanya karena negara dapat mengenakan pajak dengan tarif yang cukup tinggi dari keberadaan minuman keras tersebut? Itu kemudian menjadi diskusi yang berbeda.

Moralitas dalam Perkembangan Manusia

Seiring dengan perkembangan manusia dalam mempelajari hal-hal baru, moralitas seseorang pun dapat mengalami perubahan. Inilah sebabnya mengapa moralitas tidak stagnan atau tidak tetap. 

Hal ini berkembang seiring berjalannya waktu ketika orang-orang berbagi pengalaman dan keyakinan mereka tentang dunia. 

Bagaimana kemudian tentang isu-isu seperti seks pranikah, hubungan sesama jenis, aborsi, penggunaan narkotika, yang kesemuanya itu merupakan hal-hal yang sejak dulu dianggap tidak bermoral, tetapi pada saat ini bahwa masyarakat sepertinya sudah mulai menerima semuanya itu sebagai hal pribadi yang tidak perlu dikait-kaitkan dengan moralitas secara keyakinan.   

Sangat ironis memang, ketika sebagian masyarakat luas telah belajar untuk bersikap toleransi terhadap orang lain, apapun keyakinan atau preferensi pribadinya, tetapi sebagian masyarakat lainnya memilih untuk menyetujui --atau lebih parahnya mereka-mereka yang memraktikkan sendiri isu-isu tersebut. 

Hal-hal kemudian tampaknya telah berubah bahwa masyarakat yang mengkritik orang-orang yang memilih untuk menjalani gaya hidup tersebut, merekalah yang kini dianggap justru tidak bermoral. 

Gagasan tentang Moralitas

Sepanjang sejarah manusia, awalnya moralitas memiliki kecenderungan yang terkait dan terikat pada tradisi agama. Namun, pada kondisi saat ini, kecenderungan itu mengalami peralihan. 

Masyarakat seakan-akan menuntut bahwa seharusnya moralitas tidak lagi terikat pada agama apa pun karena moralitas lebih merupakan "norma sosial" yang terkait dengan perilaku seseorang ketika menjalankan norma tersebut. 

Alhasil, moralitas sekulerlah yang kemudian muncul, bahkan melampaui keyakinan pribadi seseorang yang pada akhirnya menuai pro dan kontra pada masyarakat umum itu sendiri.

Perdebatan mengenai apakah moralitas itu subjektif atau objektif, biasanya dalam bidang agama atau filosofis, selalu saja muncul. 

Orang-orang yang percaya bahwa moralitas itu objektif seringkali mengatakan bahwa jika moralitas menjadi subjektif, semua orang bisa saja menciptakan moralitasnya sendiri --dan seseorang pun tidak akan pernah bisa mengatakan bahwa mereka salah dalam hal apa pun, bahkan mengatakan definisi moralitas mereka tidak tepat.

Meskipun argumentasi orang-orang yang percaya bahwa moralitas objektif tersebut ada benarnya, namun tentu saja masih banyak kekurangannya. 

Jika moralitas bersifat objektif, maka harus ada kesamaaan substansial dalam hal-hal yang dianggap benar dan dapat diterima oleh setiap budaya, serta tindakan-tindakan yang dianggap tabu secara universal. Akan tetapi, hampir mustahil menemukan isu moral yang disetujui oleh semua budaya di dunia.

Misalnya, tentang pembunuhan di negara-negara yang berperang dan bagaimana kemudian membunuh dalam keadaan tersebut dianggap bermoral? 

Hal lain, misalnya, budaya daerah yang memraktikkan kanibalisme atau yang masih melakukan ritual pengorbanan manusia kepada sesembahan yang dianggap dewa mereka hingga saat ini. 

Jika tindakan yang paling biadab sekalipun tidak dianggap biadab di setiap budaya tertentu, lalu bagaimana hal tersebut bisa dikatakan sebagai moralitas objektif? 

Ketidakselarasan Cara Pandang terhadap Objektivitas Moralitas

Masalah lain dalam argumen moralitas objektif adalah bahwa agar moralitas menjadi objektif, maka moralitas harus didefinisikan oleh suatu kaum entitas luar yang di dalam dirinya tertanam jiwa kemanusiaan. 

Faktanya, hal itu cukup sulit untuk dilakukan, bahkan dalam agama sekalipun karena tidak semua orang setuju atau mengikuti seperangkat aturan yang sama. Lalu bagaimana masyarakat dapat menentukan kelompok mana yang benar dan kelompok mana yang salah? 

Ketika orang-orang berpikir tentang moralitas objektif, sebenarnya yang mereka bicarakan adalah moralitas kosmopolitan karena dunia kini telah saling terhubung. 

Mereka lebih terbuka terhadap pengalaman baru dan beragam yang membantu membentuk definisi baru tentang moralitas untuk bisa disepakati bersama.

Namun, seperti yang orang-orang lihat di masa lalu, membuat semua orang agar bisa menyetujui sesuatu secara bersamaan adalah hal yang relatif mustahil sebab moralitas objektif semacam ini hanya ada di dunia maya. 

Ketika mereka melangkah keluar dan melihat ke dunia nyata tempat orang-orang yang tidak terhubung ke internet, mereka akan menemukan perbedaan besar dalam hal apa yang dianggap benar dan salah. 

Kode etik moralitas sepenuhnya merupakan budaya yang dibangun atas dasar kebutuhan untuk hidup bersama dengan sukses. Itulah sebabnya setiap budaya memiliki moralitasnya masing-masing. Moralitas adalah hal yang kompleks, sama seperti setiap manusia yang menjalani perjalanan hidup yang berbeda dengan pedoman moral yang berbeda pula. 

Oleh karena itulah mengapa moralitas merupakan topik yang sulit untuk dibicarakan, sebab apa yang sebagian orang katakan akan selalu ada sebagian orang lainnya yang tidak sependapat, apa yang oleh sebagian orang dianggap sebagai hal yang bermoral, oleh sebagian lainnya dianggap tidak bermoral.

Kesimpulannya, membuat membuat semua orang menyetujui serangkaian satu pedoman yang harus diikuti bukanlah satu-satunya tujuan akhir dari pembicaraan tentang moralitas. 

Satu hal yang bisa menjadi kesepakatan semua orang bahwa meskipun semuanya mungkin tidak mendapatkan semua jawaban yang diinginkan atau jalan mana yang harus diikuti, tetapi diskusi tentang moralitas, bagaimana moralitas terbentuk, dan bagaimana moralitas memengaruhi pola pikir orang-orang.

Setidaknya dapat memberikan gambaran tentang kehidupan dan memberikan wawasan tentang bagaimana seseorang harus menjalankan hidupnya sendiri secara beradab.

Hal itulah kemudian dapat membantu seseorang mempelajari cara berpikir orang lain, mengapa orang-orang bertindak, dan mengapa beberapa orang menentang keras ide dan keyakinan tertentu serta berpegang teguh pada pendapat dan keyakinan mereka sendiri.

Moralitas tidak diukur secara absolut atau pasti, tetapi moralitas merupakan pecahan dari berbagai tempat yang berbeda yang membentuk keseluruhan perilaku yang dikenal sebagai perilaku kemanusiaan. 

--- 

Shyants Eleftheria, Salam Cerdas Literasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun