Keduanya juga secara signifikan dapat memandu perilaku orang-orang yang tinggal di suatu komunitas sehingga semua orang dapat hidup bersama dengan cara yang paling damai.Â
Namun, seringkali hukum mengungkapkan moralitas pada waktu dan tempat tertentu. Sebagai contoh tentang aturan meminum alkohol di negara kita.Â
Aturan minuman keras di Indonesia telah lama menjadi perdebatan. Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokratisasi, Indonesia juga negara bermayoritas muslim yang melarang meminum khamr atau alkohol.Â
Selanjutnya, ketika moralitas bergeser ke arah toleransi bagi orang-orang yang menikmatinya, hukum pun ikut berubah.Â
Presiden Joko Widodo secara resmi telah melegalkan investasi untuk industri minuman keras (miras). Aturan ini tertuang dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.Â
Aturan tersebut dibuat atas dasar karena kesepakatan konsumsi alkohol berlaku untuk kepentingan terbatas, yaitu meliputi kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.Â
Lantas  pertanyaan selanjutnya, apakah aturan hukum tersebut lahir karena alasan moralitas atau hanya karena negara dapat mengenakan pajak dengan tarif yang cukup tinggi dari keberadaan minuman keras tersebut? Itu kemudian menjadi diskusi yang berbeda.
Moralitas dalam Perkembangan Manusia
Seiring dengan perkembangan manusia dalam mempelajari hal-hal baru, moralitas seseorang pun dapat mengalami perubahan. Inilah sebabnya mengapa moralitas tidak stagnan atau tidak tetap.Â
Hal ini berkembang seiring berjalannya waktu ketika orang-orang berbagi pengalaman dan keyakinan mereka tentang dunia.Â
Bagaimana kemudian tentang isu-isu seperti seks pranikah, hubungan sesama jenis, aborsi, penggunaan narkotika, yang kesemuanya itu merupakan hal-hal yang sejak dulu dianggap tidak bermoral, tetapi pada saat ini bahwa masyarakat sepertinya sudah mulai menerima semuanya itu sebagai hal pribadi yang tidak perlu dikait-kaitkan dengan moralitas secara keyakinan. Â Â