Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Menggugat Diam

12 Desember 2023   00:22 Diperbarui: 15 Desember 2023   03:34 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang yang mengalami kekerasan dan pelecehan dalam rumah tangga| sumber gambar pexels.com

Tubuh Haris jatuh tersungkur, pelipisnya berdarah dan dia tidak bergerak. Aku tidak peduli apakah dia mati atau hanya pingsan---itu bukan hal yang penting. Satu-satunya yang kupikirkan tadi malam, bagaimana aku menyelamatkan diri dari kepanikan yang luar biasa pada peristiwa mengenaskan itu.

Polisi datang tiga orang setelah kuhubungi dalam situasi yang kacau. Hal yang sangat melegakan bahwa mereka telah memercayai keteranganku---mungkin karena melihat keadaanku sudah benar-benar berantakan: Badan luka-luka, bibir bengkak, mata merah, baju robek, serta rambut acak-acakan. 

Setelahnya, Haris terbangun seperti kebingungan, tetapi kemudian dia terlihat pasrah dan tidak berkata apa pun saat polisi-polisi itu meringkusnya. Sementara Haris digiring masuk ke mobil dinas kepolisian yang terparkir di depan rumah, seorang polisi wanita yang juga turut hadir mencoba menenangkanku dengan mengelus-elus punggungku dan mengatakan kalau semuanya akan aman.

Kurasa tidak benar-benar aman karena ketika selintas Haris melihatku dengan sorot mata yang seolah-olah membuncahkan permusuhan, bibirnya bergerak tanpa suara seperti hendak mengatakan, "Aku membencimu, Suzan!"---maka itulah aku harus melakukan sesuatu.

Jarum jam di dinding ruangan yang kudatangi menunjukkan pukul delapan kurang lima menit setelah tubuhku selesai divisum. Seorang wanita paruh baya berpenampilan rapi masuk dan menyalamiku. Dia dokter Emily, komisioner lembaga perempuan yang telah banyak berurusan dengan para korban pelecehan dan kekerasan dalam rumah tangga sekaligus terapis kesehatan, begitulah dia memperkenalkan diri.

Dokter Emily memelukku erat beberapa saat, sebelum aku mulai mengutarakan semuanya. Namun, suaraku seperti tersedak di tenggorokan.

Baca juga: Payah

"Baiklah, Suzan. Kamu bisa mulai jika sudah mulai tenang," katanya.

Aku mengangguk. Berulang kali aku menarik napas panjang agar mulutku ini mampu mengeluarkan barisan-barisan cerita meski dengan nada bergetar.

"Haris tahu persis apa yang dia mau. Dia bahkan memiliki daftar keinginannya terhadapku. Jika aku tidak melakukan apa yang dia katakan, dia akan sangat kesal. Dia memberiku banyak tekanan karena harus merawatnya. Kadang-kadang, aku merenung pada saat-saat tertentu ketika suara batinku mempertanyakan apakah rumah tangga kami sehat atau tidak."

"Bagaimana dengan perasaanmu sendiri? Seharusnya kamu layak mendapatkan cara hidup yang sehat."

"Entahlah, aku tidak tahu, Dokter. Mungkin suara hati terdalamku telah memengaruhiku supaya tetap bertahan dalam situasi yang buruk."

"Menurutmu, apa yang akan terjadi jika kamu tidak selalu melakukan apa yang diperintahkannya?"

"Itu pemikiran yang menakutkan, Dokter. Aku bahkan tidak tahu apakah pantas mendapatkan perlakuannya yang berbeda."

"Jadi menurutmu itu lebih menakutkan daripada membiarkan dirimu selalu hidup terancam?"

Aku mengangguk-angguk, mencoba meyakinkan dokter Emily dengan pernyataan yang kuat bahwa Haris seorang pemarah, bahwa kehidupan kami teramat berat setelah Haris kehilangan pekerjaan beberapa tahun lalu dan aku harus menopang semua kebutuhan dengan mengandalkan pendapatanku bekerja yang tidak seberapa.

"Sekarang aku merasa sangat jahat karena Haris harus ditangkap."

"Tidak, Suzan. Sekarang, kamu sudah tepat mendatangiku untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya. Ketika seseorang berada dalam hubungan yang kasar, dia tidak jarang memutuskan hal-hal yang menyakitkannya dan yang membuatnya trauma, tetapi terapi ini agar kamu menjadi lebih baik dan agar kami bisa membantumu dari mimpi buruk ke depan."

Ya, jiwaku juga tidak tenang karena perasaan bersalah yang teramat hebat terhadap Haris. Karena itulah aku mendatangi dokter Emily, seperti yang disarankan seorang polisi wanita saat kejadian tadi malam.

"Bagaimana kalau kita mundur ke belakang, apa yang terjadi malam tadi?"

Tiba-tiba saja pertanyaan dokter Emily membuatku terhenyak. Itu artinya aku harus berupaya menguraikan peristiwanya secara detail satu per satu supaya tidak ada benang merah yang terlepas, apalagi dokter Emily pun sudah bersiap-siap dengan pulpen dan buku catatan di tangannya.

"Haris selalu pulang malam hari dan aku selalu gelisah tidak tahu jam berapa dia akan pulang. Malam tadi, aku tidak tahu bagaimana suasana hatinya setelah dia menutup pintu rumah. Jantungku berdebar kencang karena merasa terjebak ketika dia pulang. Aku langsung tahu segalanya akan menjadi buruk karena dia mabuk. Maka aku mencoba menenangkan suasana hatinya dengan menyiapkan makanan untuknya. Aku berusaha menjaga ketenangan, tetapi dia terlihat gelisah dan terus-menerus mengoceh tentang kesehariannya yang tidak mendapatkan uang."

"Lalu?"

"Haris kemudian mulai meninggikan suaranya. Dia tiba-tiba menjadi agresif dengan melemparkan makan malam yang kubuat ke tempat sampah. Kemudian dia mulai menyerangku secara verbal."

Kalimat terakhir itu memaksaku harus menahan perih pada bagian sudut mata yang kuusap karena aku harus mengeluarkan air mata. Dokter Emily menyodorkan tisu kepadaku dan menanyakan kepadaku apakah aku baik-baik saja. Dia mungkin tahu ini sulit. Mengingat semuanya memang sangat menyakitkan.

Namun, aku kembali ingin melanjutkan ceritaku. Bahwa malam tadi Haris seperti biasa tertidur di sofa. Ya, dia akan tidur sepanjang malam. 

Setelah sekitar satu jam, dia terbangun dan mencoba untuk mengajakku berhubungan intim dengan mulut yang berbau alkohol. Aku menolaknya, tetapi suamiku itu tidak mau menerima jawaban tidak. Saat dia hendak memukulku, aku langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Laki-laki keparat itu menggedor-gedor pintu dan aku tetap bertahan di dalam.

Aku menjeda. Sepertinya dokter Emily mendengarkan dengan seksama. Aku mulai khawatir apakah wanita ini akan membaca raut wajahku ketika aku bercerita atau tidak. 

Apakah  barisan kalimat yang kuucapkan terdengar masuk akal menurutnya? Jadi, aku kembali menarik napas, untuk mengatur ritme suara untuk lebih meyakinkannya.  

"Saat Haris tidak lagi mengetuk pintu, hal aneh tiba-tiba muncul. Aku merasakan keberanian di dalam diri setelah sebuah suara di kepalaku menyuruhku agar sebaiknya pergi. Tapi beberapa detik selanjutnya, sebuah suara lain memerintahku untuk tidak pergi dan ... aku menjadi takut lagi, Dokter."

"Apa yang kamu putuskan?"

"Akhirnya, aku menuruti perintah suara pertama. Aku mengemasi pakaian ke dalam koper dan bertekad untuk pergi memulai hidup baru."

"Satu hal yang sebenarnya terdengar baik, Suzan."

"Ya, Dokter. Sialnya, Haris masih berdiri di depan pintu kamar dan menghalangiku. Aku pikir dia akan menghajarku seketika, ternyata tidak. Aku tidak tahu tiba-tiba saja dia melemah dan memohon agar aku memaafkan perilakunya. Ketika aku berkata tidak, saat itulah dia berubah lagi. Dia benar-benar seperti orang kerasukan dengan mencengkeram leherku, menampar pipi, melukai bibirku, meninju mataku, menjambak rambutku, dan merobek-robek bajuku. Aku panik dan mencoba melawannya. Aku meraih benda yang paling dekat, tempat lilin tembaga di atas meja hias, lalu memukulnya sekeras mungkin di sekitar kepalanya sampai dia terjerembab. Saat itulah aku memanggil polisi. Tapi, Dokter---"

"Tapi, kenapa?"

"Ketika polisi tiba, aku justru khawatir mereka akan menangkapku karena menyerang Haris dan hampir membunuhnya. Syukurlah, polisi bisa melihat kalau aku adalah korban kekerasan dalam rumah tangga. Oh, polisi sangat profesional dan itu membuatku merasa aman dan terlindungi. Bertahun-tahun menerima pelecehan dari Haris, bahkan setiap hari sebagian dari diriku seperti mati rasa. Entahlah, apakah setelah ini aku dapat membangun kembali hidupku lagi dengan kewarasan, Dokter?"

"Ya, tentu saja, Suzan. Sepertinya kamu sudah terbiasa dilecehkan sehingga hampir terasa normal bagimu. Apa yang pantas kamu dapatkan adalah keamanan sehingga tidak membuat hidupmu menjadi bodoh."

Aku senang dan puas ketika dokter Emily menyimpulkan aku adalah korban yang berani, yang telah mengatakan cukup banyak meskipun hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Aku telah berhasil keluar dari hubungan beracun. Sudah saatnya aku merasa bangga sebagai awal dari cara baru untuk melihat diriku sebagai "Suzan sejati" yang diizinkan untuk hidup bebas dan bahagia.

Jika kemudian Haris menceritakan semuanya yang sebenar-benarnya, cerita yang berkebalikan dengan pernyataanku, bahwa akulah yang selalu mengintimidasi hidupnya dan menyakitinya, tetapi aku seperti merasa yakin tidak akan ada satu pun yang percaya kepadanya sebab pelecehan dan kekerasan yang terjadi kepada kaum laki-laki dalam kehidupan rumah tangga sering kali dianggap sebagai sesuatu yang terdengar konyol, walaupun kuakui itu benar terjadi.

Jadi, aku cukup berbangga dengan diriku, dengan segala pembelaanku yang menakjubkan. Ketika tubuh Haris roboh dan kepalanya berdarah karena hantaman keras tembaga, saat itulah terbersit di pikiranku untuk menyakiti diriku sendiri. 

Ya, akulah yang menampar pipiku berulang-ulang hingga merah, melukai bibirku hingga  mengeluarkan darah, meninju mataku hingga lebam, menjambak rambutku hingga acak-acakan, dan merobek-robek bajuku, supaya cerita tentang pelecehan dan kekerasan dalam rumah tangga itu benar-benar natural terjadi. 

Kenyataannya, selama ini dia adalah korban keegoisanku. Dialah yang harus memenuhi daftar keinginanku. Itu karena aku muak hidup bersama laki-laki lemah. Aku ingin menggugat diamnya.

Pagi ini, kukembangkan senyumku tipis-tipis saja, kemudian mataku menyalakan kemenangan.

---

-Shyants Eleftheria, Life is A Journey-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun