Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belum Terlambat untuk Kita Memulai Kembali

13 Februari 2023   22:09 Diperbarui: 14 Februari 2023   15:34 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan yang mencoba saling memahami |by inakoran.com

Inilah yang menjadi dilema terbesar bagiku. Selama hidup hampir sepuluh tahun bersamanya, aku berbicara tentang kemungkinan kami berpisah.

"Mengapa kamu mengatakan hal bodoh seperti itu, Suzan?" Haris tampak terkejut mendengar pernyataanku.

Malam itu, sebelum tidur, kami saling terpekur menatap langit-langit kamar yang sama. Pada saat itulah aku mengeluarkan ganjalan isi hatiku.    

"Aku selalu mengingat masa-masa awal perkenalan kita hingga menikah, Haris. Semua indah. Kita saling mendukung satu sama lain, berbagi keceriaan, suka-duka bersama meski sederhana. Aku masih ingat bagaimana dulu kita tidak pernah bosan menghabiskan waktu mengobrol hingga pagi dan itu hampir setiap hari membuat kita mengantuk di kantor, bagaimana kita menonton acara teleivisi yang buruk bersama-sama sambil menikmati makanan ringan, bagaimana kita menyanyikan sebuah lagu cinta dengan versi paling konyol, dan lain-lainnya, yang semua-semuanya seperti tidak akan terulang lagi. Entahlah, rasa-rasanya, aku merindukan saat-saat seperti dulu."

Aku diam sejenak, lalu berbicara kembali.

"Aku mungkin seorang wanita yang sentimental dan sangat sensitif dalam hal hubungan dan perasaan, bahkan sering kali mendambakan saat-saat romantis, seperti seorang gadis kecil yang mendambakan kasih sayang orang tua. Sekarang, yang aku rasakan, pernikahan ini membuat aku patah semangat tentang cinta. Makin lama aku makin tidak melihat kepekaan dan ketidakmampuanmu lagi membawa momen romantis ke dalam hubungan kita ini, bahkan sejak aku tidak bisa menghadirkan bayi---entahlah, mungkin tidak akan pernah bisa lagi---hubungan ini terasa membosankan. Semua tampak berbeda. Kita masing-masing sibuk dengan menikmati hari-hari sendiri, kamu dengan pekerjaanmu, dengan waktumu, aku pun demikian. Dan aku merasa hubungan kita makin hambar. Aku tidak tahu apakah kamu melihat hal yang sama seperti yang aku lihat, Haris?"

Haris tidak menjawab, maka aku menyampingkan tubuhku ke arahnya. Dia menoleh. Kami bertatapan, tanpa rasa.    

Baca juga: Membeli Kebahagiaan

"Haris, apakah menurutmu kita sudah tidak saling mencintai lagi sehingga memungkinkan kita untuk berpisah?"

Pertanyaanku membuatnya tersentak. Dia mungkin saja terkukung dalam pemikiran yang aman bahwa semua keadaan ini adalah hal yang biasa terjadi dalam rumah tangga. Namun, aku ingin mematahkan perasaannya tentang cinta dan kesetiaan pada kehidupan kami yang masih terbilang rawan.  

"Perasaanku tidak pernah berubah, Suzan. Kamu tidak meragukanku, bukan?"

"Entahlah."

"Dan aku tidak pernah berpikir untuk berpisah darimu."

Aku meluruskan tubuhku lagi.  

"Jangan membuat aku kecewa, Haris. Bagaimana aku bisa memercayaimu, bahkan untuk mengungkapkan kesulitan saja kamu tidak bisa. Lalu, apalagi kuharapkan darimu?"

"Jika kamu bertanya tentang kebahagiaan terbesarku, aku menjawabnya ketika melihat kamu bahagia setelah perjuangan panjang menunggu kehadiran buah hati. Dan jika kamu bertanya tentang kesedihan terbesarku, aku menjawabnya ketika kamu mengalami keguguran dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kamu tahu bahwa saat itu seharusnya aku ada di sisimu, memelukmu, dan memberimu ketenangan. Namun, karena pekerjaanku sebagai penanggung jawab, aku tidak bisa pergi. Saat itu aku tidak bisa berkonsentrasi dan sungguh takut sesuatu akan terjadi kepadamu. Rasanya, semua darahku berhenti mengalir karena mengering. Setelah bekerja hingga subuh, aku bergegas ke rumah sakit, tetapi kamu tidak ada di ruangan persalinan. Kukira sesuatu terjadi kepadamu. Aku panik. Namun, saat aku pergi ke kamar pasien, kamu sedang makan semangkuk sup hangat dan melihatku tanpa berkata apa pun. Walaupun kamu sangat menderita dan terpukul menerima kejadian buruk itu, tapi aku lega karena kamu masih hidup. Aku memikirkanmu. Dan kukatakan kepadamu bahwa semua akan baik-baik saja setelah itu."

Mata Haris berkaca-kaca. Aku menyentuh tangannya, lalu menggenggamnya pelan-pelan.

"Lalu, mengapa setelahnya kamu seperti menjauh dariku?"

"Aku laki-laki yang payah, Suzan, sangat payah. Aku tidak bisa menghadapi dua kenyataan pahit secara bersamaan. Bagaimana bisa aku memberimu kebahagiaan, sementara aku dalam keadaan kacau. Perusahaanku jatuh, dan aku harus ikut andil berjuang keras untuk membuatnya bangkit lagi. Saat yang sama, aku tidak ingin membuatmu terpuruk dengan keadaanmu. Aku tahu kamu sudah cukup terpukul dengan kehilangan bayi meski aku tidak mempermasalahkan jika kemudian takdirmu tidak bisa memberiku buah hati lagi karena Tuhan tidak mengizinkan kita memilikinya. Apa pun keadaanmu, aku tetap mencintaimu. Maka, ketika aku melihatmu dengan segala aktivitas yang membuatmu bersemangat lagi, kupikir kamu telah bisa mengatasi semua yang terjadi. Sebenarnya ini berat untuk aku bekerja keras, bahkan untuk sering meninggalkanmu. Terkadang aku membencinya, tapi aku harus menahannya. Aku mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap perusahaanku, terhadap karyawanku, terhadap keluargaku, terhadapmu. Jadi, aku berpura-pura baik saja. Kulampiaskan semua stres dan kemarahanku di luar agar bisa tersembunyi darimu. Kepadamu, kupikir tidak ada masalah. Kamu bahkan bisa berdiri tanpaku. Aku sungguh tidak tahu kalau kamu ternyata sungguh menderita dengan sikapku. Maafkan aku."

Haris menangis dan kali ini aku yang tersentak. Aku ternyata lebih egois darinya yang kuanggap egois. Ya, Tuhan, bahwa akulah yang tidak pernah bertanya dan mengerti keadaannya, dan bahwa akulah yang selalu menuntutnya untuk memerhatikanku, itu membuatku jahat. Sementara, dia harus mengatasi permasalahannya juga. Aku bahkan tidak mengetahui seberapa jauh hati kami saling terhubung sehingga memberikan perasaan berkecamuk seperti ini. Dengan tidak melakukan kekerasan kepadaku saja dan dengan tidak meninggalkanku, seharusnya aku paham bahwa Haris sangat mencintaiku dan dia sungguh masih bertanggung jawab kepadaku. Hanya dia dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Parahnya, aku telah mengabaikan itu semua.

Aku tidak bisa menghindari rasa sakit di dadaku dan kemudian membiarkan air mataku mengalir.

"Haris, akulah yang belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Tolong maafkan aku juga. Namun, yang membuatku menyesal, kamu tidak pernah bercerita tentang keadaanmu. Itu membuatku kecewa. Kamu seperti sudah tidak memercayaiku dan menurutku itu sama halnya dengan kamu melakukan tindakan kekerasan kepadaku."

Haris merapatkan tubuhnya, lalu memelukku erat. "Aku tidak ingin memberatkanmu."

"Nyatanya, kamu sudah memberatkan pikiranku."

"Sekali lagi, maafkan aku, Suzan.

Aku akhirnya memahami bahwa persoalan hubungan pernikahan ini bukan sekadar tentang cinta, melainkan bagaimana seharusnya kami sebagai pasangan menanggalkan pagar pemikiran masing-masing yang justru membuat aku dan dia tidak bisa saling memahami. Seharusnya, baik Haris maupun aku, bisa mengatasi permasalahan secara bersama-sama, bukan saling menjauh dan meninggalkan satu sama lain---dan itu kesalahan fatal kami.

Ini tentang kegagalan komunikasi verbal, tentang penyampaian keinginan-keinginan dengan cara yang salah---dan kami berdua mengakuinya. Meski masing-masing telah saling mengecewakan, kami masih memiliki harapan ke depan. Komitmen awal yang telah dibangun sebelum menjajaki kehidupan bersama semestinya tidak begitu saja mudah untuk dihancurkan. Sebuah upaya memperkokoh hubungan ini membuat kami tersadar tentang kemenangan bersama, bukan menyerah pada kekalahan. Peristiwa demi peristiwa ke depan yang berbeda tentu akan kembali muncul dan membutuhkan pertahanan yang jauh lebih besar. Maka kami harus siap.

"Belum terlambat untuk kita memulai kembali, bukan?" Aku memandang wajahnya, tersenyum dan mengangguk untuk pertanyaannya.

---

-Shyants Eleftheria, Life is an journey-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun