Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Walaupun Penuh Kebencian, Dendam Seharusnya Tak Perlu dibayar Tuntas

16 Januari 2023   15:55 Diperbarui: 16 Januari 2023   17:44 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang yang memiliki raut kebencian | by pixabay

Sebuah ungkapan yang dapat kita jadikan renungan, bahwa perasaan pahit dan dendam akibat kebencian bagaikan batu-batu berat yang dipikul di punggung kita. Jika tidak mampu melepaskan batu-batu itu atau tidak mau melemparkannya ke tanah, kita tidak hanya kelelahan, tetapi juga menderita. Beban akan terus bertambah karena pengalaman hidup yang selalu menyakitkan. Akhirnya, kita akan membawa lebih banyak batu sampai tidak dapat menahan beban lagi, lalu ... roboh.

Kebencian itu seperti penyakit dan seolah-olah ia memakan tubuh kita dari dalam. Entah bagaimana kita percaya bahwa satu-satunya cara melepaskan diri dari kebencian itu adalah dengan melakukan balas dendam---mungkin ini pernah terjadi. Maka, sangat disayangkan apabila kita rela membiarkan diri mengambil resiko menghabiskan sebagian besar hidup bersama kebencian akibat penderitaan masa lalu, sementara musuh kita terus mengembangkan dirinya.

Kesehatan mental kita tidak tergantung pada apakah kita ingin membalas dendam, menerima permintaan maaf atau tidak, tetapi bagaimana kita menangani perasaan sakit dalam hati supaya segera pulih.  

Baca juga: Membeli Kebahagiaan

Kita tidak bisa mengubah masa lalu atau mengubah orang lain, tetapi bisa mengubah perilaku diri sendiri.

Hal ini selaras dengan pernyataan bijak Viktor E. Frankl,  seorang neurologi dan psikiater Austria, "Ketika tidak lagi mampu mengubah situasi, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri."

Jadi, kita mempunyai dua pilihan: apakah kita tetap melekat pada luka lama dengan membawa penderitaan kita ke dalam kubur atau memilih untuk mengambil penawarnya dan melepaskan penderitaan kita sehingga dapat menghabiskan sisa hidup tanpa beban kebencian yang berat?

Untuk memilih melepaskan penderitaan akibat kebencian, tentu saja kita harus memiliki sebuah penangkalnya, yaitu "memaafkan". Meski sering kali berat, memaafkan adalah cara terbaik untuk membuat kondisi kesehatan mental kita tetap terjaga. Hanya, kita mungkin membutuhkan waktu tertentu untuk mampu memaafkan dan melepaskannya pergi.

Penting untuk mengetahui bahwa memaafkan tidak sama dengan melupakan. Mungkin saja kita kita dapat memaafkan seseorang, tetapi tidak pernah bisa untuk melupakan perilaku buruknya---itu tidak apa-apa.

Memaafkan tanpa melupakan bisa membuat kita melihat realitas untuk menjaga diri agar tidak disakiti lagi. Namun, dalam beberapa kasus, memaafkan sekaligus melupakan, bahkan tidak pernah ingin berhubungan lagi dengan orang-orang yang menyakiti kita, itu adalah pilihan terbaik demi perlindungan diri kita.

Ilustrasi seseorang yang memiliki raut kebencian | by pixabay
Ilustrasi seseorang yang memiliki raut kebencian | by pixabay

Menerima bahwa manusia itu tidak sempurna

Allen N. Berger pernah menulis kalimat, "Harapan yang tidak terpenuhi adalah kebencian yang direncanakan sebelumnya."

Dari kalimat tersebut, Berger ingin menunjukkan bahwa terkadang kita menyalahkan orang lain atas masalah kita, tetapi pada kenyataannnya, penyebab penderitaan yang kita alami bisa jadi bukan terletak pada orang-orang tersebut, melainkan pada harapan kita yang tidak terpenuhi oleh mereka sehingga menimbulkan kekecewaan yang berujung pada kebencian.  

Salah satu kesalahan terbesar kita adalah mengharapkan orang lain untuk tidak melakukan kesalahan---betapa ironisnya hal ini terdengar. Kita sering kali menumpukan pikiran kita kepada orang lain dan memroyeksikan semua jenis harapan kepada mereka. Misalnya, kita berharap seorang teman selalu peduli dan tertarik dengan apa yang kita katakan dan berharap dia selalu membantu kita. Namun, ketika keinginan itu tidak terpenuhi, kita kerap tidak melihatnya sebagai manusia yang tidak sempurna, tetapi sebagai fantasi tentang mereka yang telah tercipta dalam pikiran kita.

Contoh lain dari fantasi pikiran itu seperti yang terjadi pada orang tua dan anak. Banyak orangtua memiliki harapan tinggi terhadap anaknya, begitu pula sebaliknya, anak mengharapkan orangtuanya menjadi orangtua yang baik. Fenomena fantasi ini jarang menyerupai kenyataannya, yang pada akhirnya, ketika semuanya tidak sesuai apa yang mereka harapkan, kekecewaanlah yang mereka dapatkan.    

Sebenarnya, bukan perilaku buruk orang-oranglah yang menyebabkan kebencian kita, melainkan  tingginya ekspektasi kita terhadap mereka. Mereka kita anggap membuat kesalahan, bergosip, berkhianat, berbohong, dan melanggar batasan privasi kita sehingga tidak ada ruang untuk menerima kekurangan mereka. Padahal, dengan menerima bahwa tidak ada manusia yang sempurna (orang-orang pada dasarnya tidak sempurna), itu justru dapat memudahkan kita untuk melepaskan kebencian.

Merenungkan kemarahan dan kebencian

Tiga penyebab dasar penderitaan adalah keserakahan, ketidaktahuan, dan kebencian. Khusus mengenai kebencian, ia digambarkan sebagai noda besar kepribadian karena sifatnya yang merusak. Menyimpan kebencian bisa dikatakan seperti memegang bara panas dan menunggu yang lain terbakar. Terlepas dari keinginan balas dendam yang ada di pikiran kita, meski tidak pernah kita lakukan, memiliki dendam justru hal yang paling menyakitkan untuk diri kita sendiri.

Kita mungkin bisa merasakan pahit-getir tentang ketidakadilan hidup atau tentang hal-hal yang dilakukan orang-orang sekitar. Namun, tidak peduli seberapa banyak minyak yang kita lemparkan ke api pikiran kita, faktanya kita tidak bisa mengendalikan orang lain dan mengubah apa yang terjadi. Ketika terus meminum racun, menunggu musuh kita mati, pada akhirnya, kitalah yang mati dengan menyakitkan.

Dengan merenungkan sifat kemarahan dan kebencian yang dapat merusak diri, kita mengingatkan diri sendiri bahwa tidak bijaksanana membiarkan emosi seperti itu memenangkan pikiran kita. Dengan melepaskan kemarahan dan kebencian melalui pintu maaf, itu akan membuat kita berhenti menyirami benih-benih kehancuran.

Mewaspadai pikiran yang merusak

Bagi sebagian orang, memaafkan itu sesederhana membuat keputusan untuk terus maju. Namun, bagi sebagian lainnya, tindakan memaafkan tampaknya tidak begitu mudah. Terlepas dari resolusi apa pun yang kita buat, pikiran dan emosi negatif bisa saja dapat muncul kembali dan mengambil alih kondisi mental kita. Kemudian, tanpa kita sadari, perasaan dendam terhadap orang yang sebelumnya kita maafkan akan kembali muncul, bahkan lebih besar lagi.

Kemarahan sering datang kepada kita dan kita pun sering mendatangi kemarahan itu akibat pikiran yang merusak. Sebagian besar kita membuat keluhan sendiri dengan memelihara kecurigaan yang tidak mendasar atau dengan membesar-besarkan hal-hal sepele. Filsuf Seneca menyadari fenomena ini. Dalam esainya tentang kemarahan, dia memperhatikan bahwa kita memiliki hak untuk mengendalikan amarah dan kita harus membuangnya saat menghadapinya. Ketika pikiran-pikaran buruk menghalangi jalan, seharusnya kita menyingkirkannya dan sebelum ia tumbuh dan menyebar seperti kanker, kita harus melepaskannya.

Kita umpamakan pikiran kita sebagai taman, maka tugas kita adalah merawatnya. Kita dapat membiarkan rumput liar merusaknya atau kita dapat mencabutnya, membuangnya, dan mencegah rumput liar yang baru untuk tumbuh.

Jadi, setelah memaafkan, langkah selanjutnya adalah menjaga kebersihan mental kita dengan membuang sampah-sampah kebencian terhadap orang yang telah kita maafkan. Memaafkan tidak ada gunanya jika kita tidak bisa berkomitmen untuk selalu membersihkan hati dari kebencian.

Tidak melupakan kebaikan

Manusia cenderung lebih rentan terhadap hal-hal negatif daripada hal hal positif. Inilah sebabnya mengapa banyak orang selalu melihat aspek-aspek yang buruk saja. Fenomena ini dikenal dengan istilah "bias negatif", yaitu ketika pikiran seseorang selalu terfokus untuk melihat kesalahan orang lain daripada melihat kebaikan-kebaikan mereka.

Awalnya, bias negatif merupakan kemampuan kita untuk menimbang input negatif yang sangat mungkin berkembang karena alasan yang bagus untuk menjauhkan kita dari bahaya. Bahkan, sejak awal sejarah manusia, kelangsungan hidup kita bergantung pada keahlian kita menghindari bahaya. Otak kemudian mengembangkan sistem yang membuat kita memperhatikan dan menghindari bahaya, yang selanjutnya membuat kita cepat menanggapinya.

Akan tetapi, karakteristik negatif seseorang dapat mengaburkan sifat yang menguntungkan sedemikian rupa sehigga kita tidak dapat lagi melihat sisi positifnya. Dalam pikiran kita yang bias, seseorang telah menjadi sangat jahat sehingga cukup sulit untuk menerima perilaku buruk orang tersebut, apalagi memaafkannya.

Jadi, kita seharusnya bisa melihat secara luas bahwa orang yang kita benci juga bisa membawa kebaikan di dalam diri kita, sebagaimana manusia memiliki keburukan dan kebaikan. Ketika orang memberi kita tekanan seperti neraka, kita tumbuh lebih kuat, lebih berwawasan, dan lebih berbelas kasih. Luka masa lalu, tidak peduli seberapa parah, mungkin menjadi berkah terselubung.

Memilih cinta, bukan benci

Kecenderungan sebagian orang untuk menjawab kebencian adalah dengan kebencian juga, padahal hal inilah yang kenyataannya memperburuk keadaan, bahkan sering mengakibatkan konflik kekerasan dan pertumpahan darah.

Aktivis dan pendeta Baptis Martin Luther King Jr., memutuskan untuk tetap berpegang pada cinta, apapun wujud kebencian kita, karena kebencian menurutnya adalah beban yang terlalu berat untuk ditanggung. Dia berargumen bahwa balas dendam dengan kekerasan justru menghasilkan hal-hal buruk yang sepantasnya dihancurkan.

Melalui kekerasan, kita membunuh pembenci, tetapi tidak membunuh kebencian. Faktanya, kekerasan hanya meningkatkan kebencian. Pembalasan dendam akan menambah kegelapan yang lebih pekat seperti pada malam yang gelap tanpa bintang. Kegelapan tidak bisa mengusir kegelapan, hanya cahaya yang bisa melakukannya; Kebencian tidak bisa mengusir kebencian, hanya cinta yang bisa melakukannya.

Cinta tidak selalu berarti kita harus terlibat dengan orang lain. Kita dapat mencintai dengan jarak yang aman, misalnya, mendoakan yang terbaik untuk orang-orang yang menyakiti kita tanpa terbakar oleh api kedengkian mereka. Meskipun orang-orang tersebut tampaknya menentang cinta dan terus meracuni kita, memilih cinta daripada benci tetap merupakan pilihan terbaik untuk kesehatan mental kita sendiri.

Memaafkan yang didorong oleh cinta pasti akan mencairkan kebencian dan menggantikannya dengan walas asih. Welas asih adalah kekuatan damai yang tidak menghancurkan dengan penuh kebencian, tetapi dengan tenang mengakui sisi kemanusiaan pada setiap orang (terlepas dari kekurangannnya). Meski welas asih belum tentu mengusir kebencian dari orang lain, tetapi perasaan itu akan menciptakan kedamaian dan memberikan ketenangan kepada diri kita sendiri---dan itu yang paling penting.

---

-Shyants Eleftheria, Life is A Journey-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun