Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Yang Terjadi pada Suatu Malam

2 Desember 2022   11:45 Diperbarui: 12 Desember 2022   01:55 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pada suatu malam| image by pixabay/ jarintanzim meem

Jason berada dalam suara harmonis, damai, dan eksentrik dari sebuah kereta api malam menuju kotanya pada ujung hari di bulan November. 

Sayangnya dia tidak menikmatinya karena refleks matanya bergantian bergerak berulang kali dari buku novel di tangannya ke sosok pria bertopi, persis di seberang tempat duduknya.  

Pandangan Jason kemudian kembali ke halaman novel dan mencoba memfokuskannya ke sana. Namun, pikirannya juga kembali terusik oleh pria tersebut---pria yang sepertinya tidak bisa beralih dari layar ponsel. Jason mengernyit, mencoba menggali ingatan tentang wajah seorang teman lama.

Aha! Akhirnya, dalam usaha lima belas detik, dia berhasil menemukannya. Ya, dia yakin sekali pria itu adalah teman lamanya meskipun topi dan janggut panjang dengan beberapa guratan perak hampir membuat sosok tersebut tampak seperti orang yang berbeda.

Jason menutup novelnya, lalu bangkit dan berjalan lurus ke arah pria itu.

"Halo, Alex!" Suaranya canggung, sementara pria di hadapannya mendongak dan menatapnya dengan sorot bingung seperti orang linglung.  

"Jason, masih ingat?"

Jason melemparkan senyum tipis dan menyodorkan tangan kanannya. Beberapa detik kemudian, matanya berbinar ketika pria itu menyambut tangannya dengan hangat.

Selanjutnya, sepuluh menit awal, mereka pun terlibat dalam percakapan sebagai teman lama dengan nada yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu ketika mereka dalam satu perusahaan. Namun, setelahnya, mimik wajah Alex berubah, pancaran gemerlap di matanya yang tadinya cerah seketika mendung.

"Apa yang terjadi?" tanya Jason.

Alex mengembuskan napas. "Hal hal yang cukup sulit bagiku dan aku sendirian dalam semua ini"

"Hei, aku temanmu." Sebuah simpati kepada mantan sahabat.

Jason kemudian mencoba menyelidiki situasinya karena tidak tahu apa yang terjadi setelah sekian lama masing-masing tenggelam dalam kesibukan tanpa saling memberi kabar.

Alex menggambarkan hidupnya tentang bagaimana seluruh keluarganya tidak lagi bersamanya dan istrinya menjadi gila, kemudian dia menunduk dan terisak---oh, semuanya menjadi gila dengan sesuatu yang Jason dengarkan, sementara Alex seperti orang yang sedang meledak-ledak.

Jason bergerak mendekati Alex dan merangkul bahunya.

Seorang wanita tua berdiri di dekat mereka, mengamati dengan cermat pemandangan itu, lalu memalingkan muka. Begitu Jason menyadarinya, Jason pun kembali mengarahkan perhatiannya ke Alex, kemudian dengan cepat dia bertanya bagaimana hidup Alex menjadi semengerikan itu.

"Kami memainkan permainan sialan," kata Alex melanjutkan penjelasannya, "dengan hal-hal berjalan baik setelah meninggalkan perusahaan, o, ya, aku tahu kau membenciku karena meninggalkan pekerjaan untuk perusahaan baru, tetapi itu adalah keputusan terbaik. Tiga tahun dedikasi di perusahaan baru, aku dipromosikan sebagai manajer. Mungkin kau akan akan cemburu, Jason, jika berada di sana hari itu."

Alex melirik sekilas ke Jason. "Karirku bagus dan ada Suzan di sana."

Jason mengangguk-anguk, tetapi dia membuka tangan dan mengendikkan bahunya memberi isyarat bahwa semua berlalu dan Suzan hanyalah masa lalunya.

"Kami menikah dan kami memiliki bayi yang cantik. Kehidupan kami indah. Perkara kami dimulai ketika Suzan menyukai film-film supranatural dan kami sedang menonton acara horor televisi suatu malam. Suzan datang dengan permainan papan, katanya, urutan abjad dengan matahari dan bulan dapat digunakan untuk berbicara dengan roh. Aku tidak pernah percaya dengan semua omong kosong tersebut, tetapi rasa ingin tahu saat berikutnya, kami berdua berencana untuk mencobanya."

"Selanjutnya?"

"Hari jumat sepulang kerja, aku melihat sebuah ruangan yang dihiasi lilin. Malam yang romantis, kupikir." Alex mulai putus asa dalam ceritanya, mengurut-urut keningnya. "Dan kemudian dia mengeluarkan papan permainan. Kami duduk di lantai dan memakai sorban putih, mencoba menjadi okultis dan mengoceh sesuatu yang bodoh seperti memanggil roh-roh itu."

Alex terdiam sejenak dan Jason bertanya, apa selanjutnya.

"Kemudian roh itu datang, Suzan pingsan sebentar dan kembali dengan suara yang serak yang dalam. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku tidak percaya lelucon bodoh itu. Tapi, Suzan mengatakan kepadaku, itu bukan dia melainkan roh yang akan datang lagi, berkunjung, setiap malam pukul dua belas."

Jason benar-benar tenggelam dalam keseluruhan cerita yang menegangkan.

"Kemudian Bibi Gina, tetangga kami yang tinggal sendirian, meninggal. Aku belum pernah melihat kematian yang lebih mengerikan sebelumnya, sebelum aku dan Suzan menemukan tubuhnya keesokan di kamar mandinya, setelah Suzan mendengar suara-suara aneh. Aku melihat dada Bibi Gina berlubang, tapi seluruh ubin kamar mandi tidak meninggalkan jejak apa-apa."

Kaki Jason gemetar tidak percaya.

"Dan itu bukan yang terakhir kali terjadi. Orang-orang mulai menghilang setiap hari satu per satu, kemudian mayat ditemukan dengan cara yang sama, lubang di dada dengan jantung menghilang. Orang-orang mulai riuh dan pembunuhan berlanjut setiap malam. Suzan mulai sakit dan polisi tidak menemukan alasan pembunuhan itu, pembunuhan berantai maksudnya. Bahkan sesuatu lebih aneh lagi terjadi dan membuat aku benar-benar terkejut."

"Apa?"

"Tengah malam, ketika aku terbangun, istriku tidak ada di tempat tidur. Aku pergi ke luar kamar mencarinya, lalu sesuatu yang mencengangkan terjadi. Suzan ada di kamar anak perempuan kami. Dia memakan hati anakku yang tidak bernyawa lagi. Kemudian dia berkedip ke aku dengan matanya yang hitam dan mulutnya penuh darah."

"Ini tidak dapat dipercaya, Lex."

"Di sinilah akhirnya dia sangat menyesalinya dan bahkan tidak bisa menghadapi dirinya sendiri, apalagi berbicara denganku. Aku pikir dia dalam penyesalan semua."

Jason masih menunggu Alex meneruskan ceritanya.

"Suzan mulai melihat sesuatu dan tidak ... itu bukan roh lagi. Aku tahu dia menjadi gila. Aku harus mengirimnya ke rumah sakit jiwa dan aku mengirimnya. Dengan waktu dia akan mendapat teman baru di kepalanya. Aku biasa pergi menemuinya setiap hari. Tapi, aku belum mengunjungi lagi dalam enam bulan terakhir ini. Sekarang aku tidak lagi berpikir dia adalah istriku. Oh, Suzan yang malang." kata-katanya itu mengakhiri penjelasannya.

Sementara itu, Jason yang telah diberitahu sesuatu yang bodoh dan tidak dapat dipercaya oleh seseorang yang tidak pernah berbohong sebelumnya, tiba-tiba percaya segalanya.

Kereta api mengumumkan dua stasiun terakhir dari rute. Wanita tua yang dua puluh menit sebelumnya manatap Jason dan Alex sudah tidak ada lagi. Suara dalam kereta hening ketika melewati rel bawah tanah.

Alex menatap lurus. Matanya menampakkan rasa sakit yang memudar. Rasa sakit seperti menyerah terhadap apa terjadi dan kegilaan yang tidak bisa dipercaya. Jason kemudian mengambil alih suasana. 

Percakapan dua teman menjadi lebih ringan dan mereka berdua berbicara tentang seluruh kehidupan mereka. Alex terus memberi tahu Jason tentang keputusannya untuk kembali ke kota dan memulai kehidupan baru. 

Dia memberi tahu Jason ide-ide bisnisnya. Jason pun menggambarkan novel romantis menyakitkan yang dibacanya. Mereka lebur dalam obrolan-obrolan random sebelum diam sampai stasiun kedua terakhir datang.

"Hubungi aku jika butuh sesuatu atau jika kau ingin kita bertemu kapan-kapan." Jason memberikan kartu namanya ke Alex.

"Ya, aku pasti akan menelponmu."

Ketukan sepatu Jason mengantarkannya turun. Satu satunya yang tersisa di kereta adalah Alex.

Seminggu kemudian, seperti kehidupannya sehari-hari, Jason bangun pagi untuk bersiap bekerja. Dia makan sereal yang sama, menyapa tetangganya yang saat itu duduk di teras sambil menyanyikan lagu-lagu country 80-an, pergi ke stasiun, dan mengambil tiket untuk duduk di kursi kereta, pulang pada malam hari.  

Suatu hari Alex menelpon. Dengan lucu dia memberitahu Jason betapa dia menyukai percakapan yang mereka lakukan saat di kereta. Sekarang dia merasa lebih lega dan ringan sejak hari itu. 

Kemudian percakapan diarahkan Alex ke alasan utamanya menelepon. Dengan sopan dia meminta Jason untuk datang menginap di apartemen barunya. Jason pun menyanggupinya pada sabtu akhir pekan karena Jason dalam hati ingin juga menghabiskan banyak waktu dengan Alex seperti dulu.

Bel berbunyi dan Alex ada di balik pintu dengan penampilan lamanya, janggut dicukur bersih dan rambut dipangkas rapi. Jason terkikik dan tawanya puas melihat Alex kembali normal. 

Mereka minum soda dan saling menceritakan secara acak apa-apa yang terjadi di kepala mereka. Jason menyarankan memesan pizza untuk menonton film yang bagus, tetapi Alex sudah memasak sandwich. Selanjutnya mereka menikmati film, satu hingga dua film.

Pukul 23:30 mereka mengobrol lagi tentang hal-hal random sebelum mereka memutuskan untuk menonton film lagi.

"Bagaimana kalau kita ke kafe saja." Jason menyarankan bahwa dengan cara pergi, mereka dapat melakukan pesta hingga pagi.

"Tidak, kita di sini saja. Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, Jason."

Jarum jam hampir menuju 23:58 ketika Alex mengakui sesuatu dengan suara yang lebih berat dan dalam.

"Kau terlalu banyak minum soda, Lex. Baiklah, katakan saja."

"Aku ... aku minta maaf telah memintamu datang ke apartemenku. Yang dirasuki roh setelah pukul dua belas malam itu adalah aku, bukan Suzan. Akulah yang membunuh semua orang-orang, Bibi Gina. Bahkan aku juga memakan hati anak kami dan Suzan menyaksikan itu. Dia tidak bisa percaya, lalu marah dan berteriak seperti orang gila pada malam itu."

"Apaaa!?" Jason memelotot tidak menyangka, "Kau bercanda, kan, Lex?"

Detik jarum jam bergerak tepat di angka dua belas. Jason melihat wajah Alex menyeramkan, gigi tajam dan mata memerah. Seketika Jason tidak dapat berkata-kata lagi. Tubuhnya kaku.

---

-Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun