Suatu hari Alex menelpon. Dengan lucu dia memberitahu Jason betapa dia menyukai percakapan yang mereka lakukan saat di kereta. Sekarang dia merasa lebih lega dan ringan sejak hari itu.Â
Kemudian percakapan diarahkan Alex ke alasan utamanya menelepon. Dengan sopan dia meminta Jason untuk datang menginap di apartemen barunya. Jason pun menyanggupinya pada sabtu akhir pekan karena Jason dalam hati ingin juga menghabiskan banyak waktu dengan Alex seperti dulu.
Bel berbunyi dan Alex ada di balik pintu dengan penampilan lamanya, janggut dicukur bersih dan rambut dipangkas rapi. Jason terkikik dan tawanya puas melihat Alex kembali normal.Â
Mereka minum soda dan saling menceritakan secara acak apa-apa yang terjadi di kepala mereka. Jason menyarankan memesan pizza untuk menonton film yang bagus, tetapi Alex sudah memasak sandwich. Selanjutnya mereka menikmati film, satu hingga dua film.
Pukul 23:30 mereka mengobrol lagi tentang hal-hal random sebelum mereka memutuskan untuk menonton film lagi.
"Bagaimana kalau kita ke kafe saja." Jason menyarankan bahwa dengan cara pergi, mereka dapat melakukan pesta hingga pagi.
"Tidak, kita di sini saja. Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, Jason."
Jarum jam hampir menuju 23:58 ketika Alex mengakui sesuatu dengan suara yang lebih berat dan dalam.
"Kau terlalu banyak minum soda, Lex. Baiklah, katakan saja."
"Aku ... aku minta maaf telah memintamu datang ke apartemenku. Yang dirasuki roh setelah pukul dua belas malam itu adalah aku, bukan Suzan. Akulah yang membunuh semua orang-orang, Bibi Gina. Bahkan aku juga memakan hati anak kami dan Suzan menyaksikan itu. Dia tidak bisa percaya, lalu marah dan berteriak seperti orang gila pada malam itu."
"Apaaa!?" Jason memelotot tidak menyangka, "Kau bercanda, kan, Lex?"