Mungkin kita pernah mendengar seseorang mengatakan, "Lihat sisi baiknya" ketika sesuatu yang buruk terjadi, atau seseorang yang memberikan semangat dengan mengatakan, "Kebahagiaan adalah pilihan" atau "Jika percaya, kita bisa mencapainya." Ya, itu semua adalah kalimat-kalimat motivasi atau penyemangat untuk kita supaya memiliki pikiran positif atas semua hal.
Gagasan bahwa kita dapat memikirkan jalan menuju kebahagiaan, kesehatan, dan kesuksesan ini telah menjadi topik di banyak buku, pidato motivasi, aplikasi meditasi, dan video-video yang bertema sama, yaitu psikologi. Tidak ada yang salah dengan pikiran positif itu, meski terkadang usaha mencapainya lebih rumit dari kalimat-kalimat itu sendiri.
Gagasan bahwa pikiran positif memiliki kekuatan atas hidup kita dan akan terwujud dalam kehidupan sehari-hari kita telah tersebar luas sampai sekarang sehingga hampir menarik perhatian semua. Walaupun gagasan itu pertama kali dikutip pada tahun 1954 dan belum ada pembuktiannya, namun fakta bahwa pikiran dapat memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan kita, telah mendapatkan kredibilitas ilmiah di pertengahan 1980-an dengan sebuah penelitian yang menemukan bahwa orang-orang yang cenderung melihat sisi terang kehidupan tidak terlalu terganggu oleh hal-hal negatif, seperti stres atau depresi. Gagasan itu kemudian dikenal dengan istilah "Psikologi positif" yang mengacu pada segala jenis intervensi psikologis yang berfokus pada kekuatan dan kualitas hidup yang lebih baik.
Lantas, bagaimana dengan sebagian orang yang mengatakan bahwa berpikir positif terkadang juga bisa menjadi bumerang dan membuat kita merasa lebih buruk?
Untuk semua dampak baik dari berpikir positif, bukti keefektifannya memang masih lemah. Sebuah tinjauan tahun 2010 menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian bersifat korelasional; Berpikir positif telah dikaitkan dengan kesehatan yang lebih baik dan umur yang lebih panjang, misalnya, itu tidak berarti yang satu menyebabkan yang lain. Ada banyak faktor lain yang berkontribusi yang tidak ditangkap oleh penelitian saat ini dan penyebabnya bisa sebaliknya---lagi pula, tidak mengherankan jika tubuh sehat membuat kita melihat dunia dengan cara yang lebih positif.
Memang ironis ketika banyak penelitian menunjukkan bahwa psikologi positif dapat menjadi semacam bumerang yang berefek negatif. Penelitian menunjukkan bahwa hal itu disebabkan oleh jenis fantasi atau pikiran positif yang seolah-olah dianggap sebagai pembunuh motivasi. Sebagai contoh, sebuah studi tahun 2012 menemukan bahwa ketika berpikir untuk tidak merasa sedih tentang sesuatu, itu sebenarnya membuat kita merasa lebih sedih tentang hal itu.
Dalam studi lain, misalnya, ketika peserta studi diminta untuk membayangkan hasil yang positif, mereka sering kali menjadi kurang mencapai tujuan mereka; Satu hasil lagi, peserta yang membayangkan diri mereka mendapatkan pekerjaan impian akhirnya mengirimkan lebih sedikit lamaran, dan tidak mengherankan, mendapatkan lebih sedikit tawaran pekerjaan.
Sebenarnya, itu bukan satu-satunya pendapat yang menunjukkan cara psikologi positif dapat menjadi bumerang. Namun, sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 menemukan bahwa mengulangi pernyataan diri yang positif seperti "Saya orang yang menyenangkan" bisa membuat orang-orang dengan harga diri rendah merasa lebih buruk. Alih-alih meningkatkan harga diri mereka, pernyataan itu tampaknya membuat para peserta memikirkan mengapa frasa positif itu tidak benar bekerja bagi mereka--dan kita mungkin berpikir bahwa berpikir positif akan sangat berguna ketika hidup benar-benar sulit, seperti, jika seseorang didiagnosis menderita kanker, meskipun tinjauan psikologi positif dalam perawatan kanker menemukan bahwa sikap tidak berpengaruh pada kelangsungan hidup.
Memang, ada kalanya melepas semua pikiran itu membantu karena psikolog telah menemukan bahwa kita memproses informasi secara berbeda tergantung dari yang kita rasakan. Singkatnya, otak kita berusaha lebih keras untuk melakukan analisis yang cermat dan bijaksana tentang dunia di sekitar kita ketika merasa payah dan kacau, karena otak kita mencoba mencari cara terbaik untuk memperbaiki kerusakan.
Sayangnya, sebagian peneliti menganggap emosi negatif cenderung membantu orang memproses penyakit kronis dengan lebih baik. Namun, psikolog berpikir ini bisa jadi karena berfokus pada hal positif menjadi bentuk penolakan, sementara semua perasaan buruk itu membuat orang menghadapi kenyataan dari situasi mereka.
Sebagai contoh, studi telah menemukan bahwa suasana hati negatif meningkatkan pemrosesan sistematis di otak kita, misalnya, pesimisme. Menjadi pesimis dapat membantu kita membentuk argumen yang lebih kuat dan persuasif, serta membantu kita membedakan fakta dari fiksi. Pesimisme dapat meningkatkan daya ingat kita karena penelitian telah menemukan bahwa ketika dalam suasana hati yang baik, otak Anda tidak benar-benar meluangkan waktu untuk membedakan detail yang penting dan tidak berguna. Oleh karena itu, suasana hati yang negatif juga dapat membantu kita menghindari kesalahan karena memroses semua kemungkinan terburuk dapat membuat kita bekerja lebih keras untuk menghindari potensi jebakan tersebut.