Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Wabi-sabi, Ketidaksempurnaan yang Sempurna

20 Juli 2022   10:30 Diperbarui: 21 Juli 2022   01:35 1364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ketidaksempurnaan bisa saja adalah kesempurnaan itu sendiri. Sumber: elartedelkintsugi via parapuan.co

Sebuah iklan menunjukkan potret orang-orang tampan dan cantik yang menikmati minuman favorit mereka, lalu menari di antara kerumunan model fasion dengan wajah yang selalu tersenyum. Gambaran kebahagiaan yang sempurna tanpa kompromi itu seakan-akan meneriaki kita: "Beginilah seharusnya hidupmu!"

Ketika kelelahan, depresi, dan kecemasan mendominasi, serta ketidakpuasan mencapai titik kronis, mengejar kesempurnaan seolah-olah telah menjadi tujuan tertinggi di dunia saat ini. Manusia dihadapkan pada standard yang tidak realistis dan dengan ketat mengejar keinginan yang mungkin tidak bisa terpenuhi.

Jadi, kebanyakan manusia, mungkin termasuk kita, mencoba meniru gaya hidup ideal. Kita menghabiskan banyak uang untuk mengubah diri kita sendiri, kehidupan kita, lingkungan kita dan kemudian membanjiri media sosial dengan gambar dan video untuk menunjukkan kepada dunia bagaimana indahnya hidup kita.

Kesempurnaan

Kesempurnaan apa yang kita bayangkan? Ya, kesempurnaan yang kebanyakan manusia pikirkan untuk mereka capai barangkali berupa wajah simetris, tubuh indah, rambut sempurna, kulit, rahang, rumah, teman, keluarga, pasangan, anak-anak, liburan; atau singkatnya adalah kesempurnaan tanpa kesalahan. Alhasil, bukan hanya tidak mungkin dan melelahkan untuk mengejarnya, tetapi kesempurnaan tersebut juga merupakan semacam keinginan yang tidak wajar.

Sejauh hal yang bersangkutan dengan keyakinan---agama---bahwa tidak ada manusia yang sempurna, ketidakwajaran pola berpikir manusia tentang kesempurnaan juga erat kaitannya dengan pandangan dunia Jepang, yaitu "wabi-sabi".

Wabi-sabi menolak mengejar kesempurnaan dan merangkul realitas ketidaksempurnaan. Filosofi Jepang ini mengajarkan kita untuk keluar dari putaran roda dalam mengejar bayang-bayang kehidupan yang ideal dan mengajarkan kita untuk menghargai kebahagiaan apa adanya.

Dahulu kala, sebuah kisah, para penguasa Jepang pada abad ke-15 suka memamerkan kekayaan mereka dengan cara mengonsumsi teh saat bulan purnama dan menggunakan cangkir Cina yang mahal dan indah. Seorang biarawan, Zen Murata Shuko, berusaha untuk mengubah upacara dari perayaan kekayaan tersebut menjadi urusan yang lebih sederhana, yaitu membeli dan menggunakan barang-barang buatan Jepang yang juga sederhana.

Penerus Shuko, selanjutnya, mengubah upacara minum teh dengan menyederhanakan ritual dan bahan yang digunakan, yakni hanya menambahkan elemen alami. Misalnya, alih-alih cangkir keramik berhias mahal, cangkir bekas sederhana yang kuno, dan alih-alih minum saat bulan purnama yang sudah menjadi kebiasaan untuk minum, upacara minum teh menjadi sebuah ritual kesederhanaan, ketidakkekalan, dan ketidaksempurnaan---dan itu dianggap sebagai contoh sejarah yang menonjol dari "wabi-sabi".

Banyak yang akan setuju bahwa kita tidak mungkin mencapai definisi yang jelas tentang filosofi "wabi-sabi sebab arti kata "wabi" dan "sabi" pun telah berubah dari waktu ke waktu. Saat ini, "wabi" mengacu pada hal-hal sederhana, dasar, tidak sempurna, asimetris, seperti yang kita temukan di alam, sedangkan "sabi" mengacu pada hal-hal yang dipengaruhi oleh waktu, yang menunjukkan tanda-tanda pembusukan atau kerusakan. Meski ada filosofi di baliknya, tetapi "wabi-sabi" bukanlah filosofi itu sendiri. Mungkin, kita dapat menggambarkannya sebagai sifat keberadaan yang sementara dan tidak sempurna.

Mengejar kesempurnaan itu seperti mengejar mimpi yang mustahil, berfantasi, yang akhirnya tidak dapat kita capai. Beberapa orang melihat kesempurnaan sebagai pengalaman subjektif karena standar kesempurnaan cukup rendah bagi sebagian orang, yaitu mereka akan menganggap sesuatu "sempurna" ketika orang lain menganggapnya "cacat". Namun, inilah masalahnya: sesuatu yang manusia anggap sempurna berdampak terhadap akan tidak adanya kekurangan untuk dideteksi jika memang demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun