Pada tahun 1930, istilah “rat race” menjadi sangat populer yang menyiratkan kesibukan sehari-hari para pekerja di komunitas perkotaan dalam perjuangan tanpa akhir untuk kehidupan yang lebih baik, meski berakhir tanpa waktu untuk menikmatinya.
Sebutan “rat race” ini dipopulerkan pertama kali oleh Robert T. Kiyosaki, seorang penulis buku berjudul “Rich Dad Poor Dad”—bukunya terjual lebih dari 30 juta kopi—yang artinya adalah pengejaran sesuatu tanpa henti, tetapi tidak mendapatkan hasil. Rat race ini diibaratkan seperti seekor tikus yang terjebak di dalam roda berputar. Meski tikus itu terus berlari, tapi ia tetap berada di titik yang sama, tidak ada perubahan. Nah, sama halnya tikus, manusia juga tanpa sadar bisa terjebak di dalam lingkaran pekerjaan tiada akhir.
Beberapa dekade kemudian kesibukan sehari-hari ini telah menjadi norma dan banyak orang mencari cara untuk menjadwalkan waktu yang lebih produktif ke dalam keseharian mereka. Pemikiran umum bahwa setiap orang memiliki waktu yang sama dalam sehari dan kemudian mengacu pada bagaimana beberapa orang menjadi lebih sukses dari yang lain meskipun memiliki 24 jam yang sama. Semua itu adalah tentang kerja, kerja, dan kerja.
Kita telah menjadi terbiasa untuk tidak memberikan hak tubuh beristirahat dan dalam banyak kasus tubuh kita mengambil waktu istirahat dari pekerjaan, yaitu rasa malas, yang lebih dipandang sebagai hak istimewa yang harus diperoleh sebagai sebuah kebutuhan.
Meskipun tidak bisa dihindari, bahkan untuk yang paling produktif sekali pun di antara kita, perasaan malas ini umumnya disukai setiap orang. Lantas, pertanyaannya adalah apakah kita hanya malas atau apakah tubuh kita mencoba mengatakan sesuatu kepada kita? Mari kita cari tahu.
Sebuah ilustrasi menggambarkan seseorang duduk dan menatap layar komputer di depannya. Alih-alih bekerja, dia justru merasa lelah dan tidak termotivasi. Dia kemudian memutuskan untuk menelusuri halaman media sosial sebelum ke pekerjaan yang harus dia lakukan setelah beberapa menit.
Beberapa jam kemudian terlewatkan sebelum dia menyadarinya bahwa waktu telah berlalu begitu cepat sehingga dia tidak melakukan apa-apa. Nah, kebanyakan dari kita terkadang mengalami kejadian seperti seseorang tersebut.
Saat rasa malas tidak dapat dihindari, kita pergi ke sofa untuk hal di luar pekerjaan utama sambil menikmati cemilan enak—dan itu terjadi selama berhari-hari sehingga menjadi masalah. Namun, kabar baiknya, kita tidak perlu khawatir sebab kadang-kadang hal tersebut sangat normal. Jika merasa seperti itu, kita tidak sendirian.
Pada tahun 2010 sebuah penelitian dilakukan tentang mengapa beberapa penjahat mendapatkan sidang pembebasan bersyarat yang adil di pengadilan, sementara yang lain tidak. Pada akhir penelitian, para peneliti membuat penemuan yang mengejutkan bahwa bukan jenis kejahatan yang menentukan keputusan akhir hakim—orang akan berharap bahwa penghakiman tidak sepenuhnya sesuai dengan kejahatan.
Jika bukan kejahatannya, apa yang bisa menentukan nasib para penjahat tidak serumit kelihatannya? Jawabannya ternyata cukup sederhana. Menurut penelitian kembali, putusan akhir para hakim ini lebih dipengaruhi oleh waktu.