Pagi itu, pukul sepuluh, Parker membuka layar ponsel dan mencari satu nama di sana. Dia kemudian menimbang-nimbang apakah akan menghubungi nomor tersebut atau tidak, mengingat kesibukan orang-orang yang masih bekerja sebab hari itu bukanlah hari libur.Â
Namun, akhirnya pria tua itu memutuskan untuk menekan ponselnya. Tatkala nada sambungnya berbunyi, lalu terdengar olehnya suara Nick, putranya, dia pun mencoba bertanya apakah Nick bisa meluangkan waktu untuknya hari itu sebab dia ingin sekali berjalan-jalan.
"Baiklah, Ayah. Tunggulah sebentar setelah saya menyelesaikan pekerjaan."
Jawaban Nick membuat pria enam puluhan itu mengembuskan napas berat di antara pikiran dan perasaannya yang bimbang mengenai Nick. Dia mengetahui bahwa Nick sangat sibuk bekerja dan hampir tidak memiliki waktu untuk mengunjunginya lagi.Â
Orang tua dan anak itu memang telah jarang bertemu sejak Nick memilih tinggal di apartemen di pusat kota, sedangkan Parker, seorang diri, lebih betah menghuni rumah lawasnya di sudut kota itu; istrinya sudah lama meninggal dunia beberapa saat setelah melahirkan putra mereka itu. Â
Maka, setelah tiga jam berselang, ketika mendengar bunyi klakson mobil tiga kali dari depan rumahnya, hati Parker bergemuruh senang seolah-olah itu adalah isyarat kebahagiaan untuknya, tetapi rupa-rupanya Nick menunjukkan reaksi yang berbeda.
"Ayah, saya kira hari ini bukan waktu yang tepat untuk kita jalan-jalan." Parker terdiam dan Nick buru-buru meralat ucapannya. "Maksudnya, saya hanya memiliki dua jam ke depan dan saya rasa itu cukup untuk kita sekadar berjalan-jalan. Baiklah ... baiklah, Ayah hendak pergi ke mana?"
Parker hanya menjawab singkat, "Taman. "
Taman yang dimaksud Parker adalah taman di pusat kota yang sudah lama ada. Dahulu, ketika Nick kecil, Parker kerap mengajak putranya itu ke taman tersebut.Â
Yang diingatnya, saat itu Nick berlonjak-lonjak riang tatkala mereka melintasi jembatan di atas danau kecil di sana dan melihat air mancur yang indah serta koloni pelikan yang berenang di dalamnya.