Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pecundang Cinta

23 September 2020   10:40 Diperbarui: 22 Mei 2021   21:57 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by bp-guide.id

Andien Sarasmaeda, wanita karier berpenampilan elegan, berhasil memikat hasratku. Pesona yang begitu kuat menggoda mata ini saat pertama kali memandang si pemilik tubuh sintal itu.

Perjumpaan tak sengaja di sebuah galeri pustaka menggiringku mengenalnya lebih jauh. Andien wanita cerdas, tersirat dari luasnya wawasan di setiap tema yang kami perbincangkan—dari sanalah aku mulai terbuai.

Rasaku terhadap Andien makin terasah seiring jejak perjalanan. Berikutnya yang kusadari adalah bius dari rasa asing yang membuat indah segalanya tentang Andien. Tidak sia-sia aku menahan detak jantung tak normal manakala ungkapan cinta berujung lega dan bahagia.

Andien menerimaku dengan sejuta senyuman menggetarkan jiwa. Rasanya tidaklah berlebihan jika kukatakan akulah pria yang beruntung memilikinya. Seperti itulah yang kuceritakan kepada Nino, seorang sahabat di community marketing.

"Wow, selalu mengatakan keberuntungan. Herannya, dari sekian nama tidak satu pun yang berujung di pelaminan." Nino terkekeh-kekeh menyindir.

"Akui saja kemenanganku, Teman. Aku tahu rasanya hidup sendiri, kan?"

Nino tersenyum hambar. Balasan kalimat menohokku sepertinya tepat mengenai sasaran. Sejenak aku melepaskan tawa melihat perubahan mimik wajahnya. Ah, Nino … sekali pun tidak pernah kulihat dia menggandeng wanita. Sahabatku satu ini memang agak selektif dengan prinsip: sekali menjerat langsung mengikat—berbeda sekali dengan diriku yang mudah sekali gonta-ganti pasangan.

****

Perjalanan cintaku dan Andien secara garis besar terbilang mulus, walaupun riak-riak kecil pertengkaran kadang terjadi. Itu disebabkan karena akulah yang pencemburu.

Pekerjaan sebagai konselor di sebuah perusahaan tentu membuatnya sering berhadapan dengan para klien, termasuk kaum adam berkelas. Nyatanya, aku boleh jemawa sedikit sebab dia lebih memilih setia. Kekasih hatiku ini selalu mampu mengimbangi kehidupan asmara dengan dunia pekerjaan.

Ironisnya, mengapa aku yang tak mampu menghargai kesetiaan Andien?

Sesumbarku dahulu untuk tak berpaling darinya, terpatahkan juga. Hubungan yang terjalin selama empat tahun tidak sempat berakhir di pelaminan. Sosok perempuan seksi berdarah campuran Australia,  Winona Agnesia, mampu memupuskan cintaku terhadap Andien. Entah mengapa, tarikan magnet pesona Winona terasa lebih kuat.

Awalnya, perusahaan kami yang beroperasi di industri yang sama, melakukan merger horizontal. Tujuannya jelas yaitu untuk menciptakan bisnis yang lebih besar dengan pangsa pasar yang lebih luas. Situasi inilah yang menyebabkan aku dan Winona—sebagai Chief Marketting Officer perusahaan, harus terlibat intens dalam melakukan konsolidasi bisnis. Tidak hanya prestasi kerjanya yang memukau, tetapi juga kepiawaiannya dalam hal mempermainkan perasaanku. Alhasil, aku pun terjebak ke dalam dua rasa cinta yang ada.

Aku bermain api di belakang Andien. Bayang-bayang Winona menimbulkan pergolakan suasana hati yang terus melanda. Pada akhirnya, terpaksa harus kuputuskan pada satu pilihan saja. Andien atau Winona.

****

"Maafkan aku, Ndien." Sebuah kalimat meluncur dari bibirku. Tidak kuungkapkan alasan yang semestinya pada Andien bahwa aku telah jatuh cinta kepada Winona. Akan tetapi, reaksi tenang Andien justru menimbulkan salah tingkah diriku sendiri.

"Karena wanita lain, Ndra? Winona?"

Aku tersentak. Apakah perselingkuhanku sudah diketahuinya? Aku tidak sanggup berdalih.

"Kenapa kau diam, Andra?"

Kupalingkan wajah dari mata beningnya, ternyata diriku sangat pengecut.  

"Bagiku, cinta tidak untuk dipaksakan. Aku tidak akan menahanmu hanya untuk sebuah ego."

Kata-kata Andien tersebut mencambuk sisi ruang bersalahku. Aku dibuatnya bimbang terhadap keputusan melepasnya, yang rasanya ingin kucabut kembali. Nahasnya, entah mengapa siluet Winona terus berputar menghiasi langit-langit ingatan. Perempuan itu seakan-akan berhasil menguasai pikiran. Sementara itu, Andien terlihat tenang mengikuti arus permainan cinta keparatku ini, bahkan keputusan menyakitkan pun diterimanya dengan sikap lapang—dan aku tidak ingin meluruhkan gengsi di hadapan wanita yang sesungguhnya masih kukagumi ini.

"Pergilah. Jika wanita itu lebih mampu membuatmu bahagia, Ndra."

Aku memejamkan mata dan mengembuskan napas. Oh, semudah itukah Andien menyerah? Adakah sesuatu terselubung atau tidak terendus di belakangku? Ah, rasa-rasanya tidak. Sepanjang yang kutahu, gelagatnya tidak pernah menunjukkan hal demikian.

"Semoga kamu menemukan lelaki yang lebih baik dariku, Ndien,"

Kalimat klise itu sengaja kuucapkan kepadanya, sekadar mengalihkan alibi rasa bersalah.

***

Aku begitu bersemangat merenda kasih bersama Winona. Sisi liar yang keluar dari dirinya selalu memicu gejolak adrenalin saat menikmati sensasi percumbuan. Sayangnya, hubungan kami ternoda karena aku kerap memergokinya berjalan dengan laki-laki lain. Tak dinyana, hubungan pekerjaan pun mulai kacau akibat persoalan pribadi. Alhasil, beberapa kali teguran peringatan profesionalisme kerja dari atasan, sangat mempengaruhi integritas pekerjaan kami yang menjadi penilaian penting di perusahaan.  

Hawa percintaanku bersama Winona menjadi tidak sehat, selalu saja ditenggarai pertengkaran demi pertengkaran. Hal kecil pun dengan mudah terpantik menjadi keributan besar. Masing-masing tak ada yang mau menekan egoisme. Makin lama kadar kemurnian cintaku kepadanya berangsur hilang. Puncaknya suatu malam, aku memergoki Winona berdua dengan laki-laki bule ketika datang memberi kejutan di apartemennya.

"Come on, Ndra. Clift hanya patner kerja. Dia hanya ingin membantuku saja. That's right, Clift?"

Winona mencoba meyakinkanku. Gerakan mengangkat pundak dan tangan terbuka yang dilakukan Clift pun seolah-olah membenarkan apa yang diucapkan Winona.

Patner kerja? Malam hari? Di apartemen pribadi?

Sebuah protes kulayangkan kepada mereka. Aku bukanlah laki-laki naif yang tidak memiliki kecurigaan sama sekali, meskipun Winona dan Clift membantahnya. Malam itu, setelah Clift pamit, pertengkaran hebat terjadi antara aku dan Winona.

Aku merasa dikhianati. Winona pun menyatakan perasaannya kepadaku sudah tidak istimewa lagi. Jalinan asmara kami hanya bertahan delapan bulan, bertepatan dengan keputusan Winona untuk pindah ke Australia. Ternyata selama ini dia diam-diam mempersiapkan pekerjaan barunya.

Seminggu kemudian, Winona memasang beberapa foto mesra dirinya bersama Clift di akun media sosial. Tertulis caption mesra di setiap postingannya dengan simbol hati yang membuat gemerutuk gigi gerahamku.

"Dasar perempuan jalang! Aku salah telah memilihmu dulu," umpatku kesal.

***

Kutelusuri nama kontak di layar ponsel. Sebuah nama masih di sana. Sebelum tengah malam, rindu tiba-tiba hadir membuncah, lalu mendorong jemariku untuk segera menghubungi nama yang tercantum tersebut.

|Ndien, masih ingat padaku?|

Tak berapa lama, chat di aplikasi ponselku pun berbalas.

|Hai, Ndra. Apa kabar?|

|Syukurlah, nomorku masih kamu simpan.|

|Hubungan berakhir tidak mesti menghilangkan keberadaan orangnya, kan?|

Sikap bijaksananya Andien masih sama seperti dulu. Aku benar-benar menyesal telah meninggalkannya.

|Ndien, boleh aku bertemu?|

|Untuk apa?|

Seketika gerakan ibu jariku terhenti. Ada kegamangan yang tiba-tiba muncul menghentikan percakapanku.

|Baiklah, Ndra. Besok kita bisa bertemu.|

Kegamanganku mendadak berubah menjadi kedamaian.

***

Kutunggu Andien pada jam makan siang di lobi restoran tempat terakhir kami bertemu. Kurapikan kembali penampilan, mengatur deru napas dan menstabilkan ritme detakan jantung. Tanpa kusadari, Andien ternyata sudah berdiri tepat di hadapanku.

Ya, Tuhan! Makhluk cantik ini masih menawan saja, bahkan lebih menawan dari kali pertama aku jatuh cinta kepadanya. Kali kedua ini aku kembali merasakan cinta yang sama. Bagaimana dulu aku bisa melepaskannya begitu saja? Bodohnya aku.

"Andra, hei!"

Kibasan tangan Andien di depan mataku, menyadarkan diri dari keterpanaan.

"E, hai, Ndien," sapaku dengan canggung.

Sengaja kualihkan kecanggungan itu dengan menikmati minuman yang sedari awal telah tersaji. Saat mata ini beradu pandang, aku mencoba memulai pembicaraan kembali.

"Ndien, maafkan aku telah menyakiti perasaanmu."

"Sudahlah, Ndra, lupakanlah. Sakit itu selalu ada obatnya."

Aku berupaya agar geliat kegelisahan tidak terlihat oleh mata beningnya.

"Apa yang ingin kamu sampaikan, Ndra? Katakanlah."

Kuembuskan napas perlahan agar kalimat selanjutnya tetap meluncur secara wajar.

"Aku ingin kembali padamu, Ndien."

Kugenggam tangannya yang halus. Sebuah cincin masih melingkar di jari manisnya. Cincin? Mungkinkah ini adalah cincin yang pernah kuberikan padanya dulu? Aku sendiri lupa.

Andien hanya tersenyum, senyum yang sama saat dia dulu menerima pinangan hibatku. Semoga ini adalah tanda persetujuannya kembali.

Andien melepaskan pelan-pelan genggamanku. Dia merogoh tas dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah kertas peach diselipkan di bawah tanganku—undangan pernikahan.  

Dengan hati tidak menentu dan tangan sedikit gemetar, kubuka pelan-pelan undangan itu. Dua nama tercetak jelas di dalamnya, dilengkapi dengan foto-foto pra-nikah yang terpampang nyata. Wajah lelakinya sangat kukenal.

NINO NUGRAHA - ANDIEN SARASMAEDA.

Nino? Andien? Mereka? Aku terperangah. Ternyata--tanpa memberitahuku, Nino memanfaatkan kesendirian Andien yang kulepas tanpa berpikir panjang itu.

"Doamu terjawab, Ndra. Aku menemukan laki-laki yang lebih baik dari dirimu. Terima kasih, ya."

Kalimat terakhir yang disampaikan Andien, membuat diriku meradang sebagai pecundang cinta.

***

S Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun