[caption id="attachment_207992" align="alignleft" width="200" caption="Kanda dan Dinda"][/caption] “Kanda, ke mana kau akan membawaku ?” bisikku pelan di telinganya.
Kami saling merangkul, berhadapan. Kukalungkan kedua tanganku di pundaknya. Sedangkan kedua tangannya memeluk pinggangku. Kami saling menatap penuh arti.
Sunyi mendekap waktu untuk beberapa saat. Angin sepoi-sepoi memainkan ikal rambutku yang panjang.
Kanda tersenyum hangat, dimajukannya tubuhnya—mendekat. Tangan kanannya meraih pipiku, mengusap lembut. Lalu, digamitnya tangan kananku. Diletakkan di dadanya.
“Apakah Dinda merasakan degup jantung yang kencang dan memburu ?” tanyanya.
“Tidak, Kanda. Dadamu tenang.” Ucapku jujur sambil menurunkan tanganku dari dadanya. Risih.
“Dirimu yang santun dalam bertutur, sopan dalam penampilan. Meredam nafsu dan cemburu, sehingga jantungku tak memburu. Berada di dekatmu selalu membuatku senang, Dinda. Itu yang membuat dadaku tenang. Uhm, apakah Dinda menyukai tempat tinggal yang tenang ?”
“Tentu saja, aku menyukai tempat yang tenang. Memangnya kenapa Kanda menanyakan itu ?”
“Kalau begitu, mungkin tawaranku ini bisa Dinda pertimbangkan.”
“Tawaran . . . tawaran apa ?”
“Maukah Dinda menjadi permaisuri hatiku ? Menempati istana jiwa yang ada di dalam dada yang tenang ini ? Ruang di dalam sana terlampau lengang untukku sendiri. Aku membutuhkanmu, Dinda. Bagaimana menurutmu ?”
Wajahnya tenang memancarkan kesungguhan, tatapnya teduh menyiratkan kasih sayang. Akh, siapa yang ingin menolak tawaran mulia ini.
“Pantaskah aku menjadi ratu di hatimu ?” tanyaku balik.
“Dinda sangat pantas, sangat pantas sekali . . . bahkan berjuta-juta kali !” serunya berlumur canda dengan mimik jenaka.
“Hahahaa . . .” Derai tawa kami bersama.
“Kanda bisa aja, aah ?!” ujarku manja.
“Loh ? Beneran, kok. Aku akan menyematkan mahkota takwa dan selempang iman di dadamu, jika Dinda bersedia menjadi permaisuri hatiku, insya Allah.” Wajah Kanda serius saat mengucapkannya.
Kumenarik napas panjang, kemudian melepaskannya perlahan. Menatapnya lembut dengan rasa haru. Antara percaya atau tidak, atas apa yang baru saja diucapkannya. Bukan meragukannya, justru aku meragukan pendengaranku sendiri. Pikiranku sibuk.
“Dinda, Dinda . . .” Kanda mengguncang bahuku perlahan. Barulah aku tersadar. Sejenak tadi, pikiranku melayang dari raga. Dengan seulas senyum termanis yang kupunya, kuanggukkan kepala. Kanda memelukku dengan mesra. Semburat jingga matahari senja, sewarna dengan kehangatan jiwa kami berdua.
sumber gambar : Kanda dan Dinda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H