Catatan ini mengisahkan lanjutan perjalananku, setelah sehari sebelumnya menikmati Pesona Wisata Lamongan.
Usai mengunjungi keindahan Gua Maharani yang dipenuhi stalaktit dan stalagmit, sore harinya aku naik komuter menuju Stasiun Pasar Turi-Surabaya. Jadwal keberangkatan komuter yang ngaret, membuatku tiba di Surabaya jam 8-an malam. Di sana, aku sudah dinanti kedua sepupuku. Kami pun naik taksi ke tengah kota, menuju rumah Om-ku.
Melintasi Suramadu
Keesokan paginya, kusampaikan keinginanku pada Om. Aku ingin menyeberang ke Madura melalui jembatan Suramadu dan baliknya naik kapal ferry. Om menyanggupi. Maka, kami (sebelas orang) naik mobil Terrios menuju jembatan Suramadu. Waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi, saat kami berangkat.
Perjalanan dari rumah Om ke jembatan Suramadu, memakan waktu sekitar 20 menit. Kami pun mulai melintasi jembatan sepanjang 5,438 kilometer—jembatan terpanjang se-Asia Tenggara, sebuah proyek bernilai Rp 4,5 trilyun yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009. (catatan, Shy melintas pada tanggal 25 September 2009). Dengan waktu tempuh sekitar 15-20 menit, lebih cepat daripada menggunakan kapal yang temponya 35-40 menit.
Tarif tol jembatan Suramadu dihargai Rp 30.000 untuk kendaraan golongan I (sedan, sejenis kijang, dan MPU), kendaraan golongan II (truk ban belakang dobel) dikenakan Rp 45.000, dan pengendara roda dua dikenakan tarif Rp 3.000. Itulah tarif yang diberlakukan sejak 17 Juni 2009. Sedangkan, tarif penyeberangan dengan ferry seharga Rp 70.000.
Maksud hati sih pengen turun dari mobil, sekedar foto-foto di tengah jembatan Suramadu. Sayang, ada mobil patroli polisi yang lalu-lalang. Memang sih, ada peringatan agar kendaraan yang lewat di jembatan Suramadu tidak berhenti sembarangan untuk sekedar mengambil foto. Ya sudah, harus puas mengambil foto dari dalam mobil yang melaju perlahan. Itupun dari balik kaca mobil yang rada gelap juga. Kebayanglah gimana sumpeknya 11 orang di dalam mobil Terrios ? Aku duduk di bangku belakang berempat dengan sepupu-sepupuku, kebagian di tengah-tengah . . . mana bisa buka kaca mobil ?! Untungnya, hasil fotoku lumayan. Hehe.
Jalur untuk motor dipisahkan dengan jalur untuk mobil, diberi pagar pembatas. Wah, kasihan juga kalau ada motor / mobil yang mogok atau bannya bocor di tengah jalan ini. Sebaiknya, semua pengendara mengecek kondisi kendaraannya sebelum melewati Suramadu. PT Jasa Marga cabang Surabaya-Gempol dan Suramadu—selaku pengelola, sudah mengantisipasi hal itu dengan menyiapkan mobil derek untuk membawa ke luar gerbang tol.
Akhirnya, tibalah kami di ujung jembatan Suramadu, Kamal – Madura. Auw, panas dan gersang !!
Kami tak tau jalan di Kamal, beberapa saat mengikuti saja jalan yang membentang di depan. Masuk ke perkampungan. Bertanya arah pun tak guna, karena satu-dua orang yang ditanyai hanya bisa berbahasa Madura. Huehehe, nikmati saja pemandangan yang ada ini, begitu pikirku.
Nyatanya, tak ada kesulitan berarti bagi kami untuk mendapatkan jalan menuju lokasi kapal ferry yang akan menyeberangkan kami ke Ujung – Surabaya. Namun sebelumnya, kami mengisi perut dulu di terminal bus yang tak jauh dari pelabuhan Kamal. Saatnya makan siang. Wah, yang terdengar hanya bahasa Madura saja. Bahkan, para pedagang cakram musik (CD/MP3) pun memutar lagu-lagu berbahasa Madura. Berasa di negeri antah berantah, karena tak kumengerti bahasa mereka. Tapi, aku selalu senang mendengar orang berbicara bahasa daerah.
Lepas makan, kami pun naik kapal ferry. Ferry yang kami tumpangi bernama Pottre Koneng. Lantai dasar untuk kendaraan, lantai atas untuk para penumpang. Di ruang ini disediakan banyak kursi dan dilengkapi TV sebagai hiburan, cukup nyaman suasananya.
Aku dan sepupuku lebih suka berada di luar ruangan. Menikmati panorama laut, di kejauhan tampak banyak kapal sedang berlayar. Lihat itu ! Monumen Jalesveva Jayamahe (Monjaya) berdiri dengan gagahnya. Monumen berbentuk patung setinggi 30,6 meter yang ditopang oleh gedung setinggi 30 meter. Menggambarkan seorang Perwira TNI Angkatan Laut lengkap dengan pedang kehormatannya, berdiri tegak menatap ke arah laut dengan penuh keyakinan dan kesungguhan siap menerjang ombak dan menempuh badai menuju arah yang telah ditunjukkan yaitu cita-cita bangsa Indonesia. Jalesveva Jayamahe merupakan semboyan TNI AL yang mengandung arti “Di laut kita jaya”.
Monumen ini dibangun pada tahun 1990 dan diresmikan pada 5 Desember 1996 oleh Presiden Soeharto, bertepatan dengan hari Armada RI. Menelan biaya Rp 27 milyar. Konon, ini adalah patung tertinggi kedua di dunia setelah Patung Liberty (85 meter) yang berada di New York. Kerangka patung sang kolonel ini terbuat dari baja dan berkulit tembaga. Perancangnya ialah Nyoman Nuarta—pematung dari Bandung yang juga menggarap patung tembaga Garuda Wishnu Kencana di Jimbaran - Bali. Nyoman mencetak tubuh patung di bengkelnya di Bandung dalam bentuk potongan-potongan modul. Baru kemudian dibawa ke Surabaya dan disambung-sambung. Nyoman Nuarta mendapat pasokan 3.000 ton tembaga dari PLN, 60 ton dari Telkom, dan sejumlah tembaga bekas selongsong peluru.
Oh iya, Kapten kapalnya baik deh. Kami diperbolehkan masuk ke ruang kemudi. Boleh foto-foto juga, bergaya mengemudikan kapal, hahaha. Rame dan seruuu . . . .
Bersambung . . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H