Garis matanya di saat tertawa, potongan rambutnya, postur tubuhnya dan gayanya. Semua mempesonaku. Apalagi saat ia mengenakan jaketnya—padu padan warna merah, biru, dan metalik. Aaahh . . . menambah gagah dirinya. Nampaknya dia sadari itu.
***
Suatu sore, dia berjalan di depan rumahku. Dengan jaketnya itu. Langkahnya yang gagah, dibuat semakin gagah . . . terkaku. Aku sedang membaca koran di teras. Uhm, kurasa dia tau keberadaanku. Dia berjalan dibuat segagah mungkin. Matanya melirik ke arahku.
Â
Gooshh !!
Â
Pura-pura nggak tau . . . Pura-pura nggak tau. Begitulah otakku memerintahkan gerak tubuh ini. Gegas kutarik koran sedikit naik, menutupi wajahku. Namun, sedetik kemudian . . . mataku mengintip dari sela-sela koran. Mencari sosoknya yang gagah itu. Hahahaa, nakal.
Â
Ouch ! Tatap mataku menabrak matanya. Jueger !!! Buru-buru beralih lagi ke koran. Hihihihiii, aku tertawa sendiri. Menertawakan kebodohanku.
Puah. Kuhempaskan koran ke meja. Setelah yakin si dia telah berlalu dari depan rumahku.
***
Malam Minggu. Kuberanikan diri mengajaknya kencan. Dengan sedikit deg-degan kukirim SMS kepadanya. Yup, sebuah ajakan kencan. Flop ! Dia mengiyakan. Yiippiee kaye . . . Esok kami akan berkencan.
Â
Hari Minggu. Ini adalah kali pertama kami jalan berdua. Terbersit rasa senang di hatiku. Ditambah tiba-tiba hujan turun saat kami menunggu mobil angkutan umum, yang akan membawa kami ke Mall.
Oh, kami berteduh bersama di bawah satu payung.
Payung warna pink milikku.
***
Garis matanya di saat tertawa, potongan rambutnya, postur tubuhnya dan gayanya. Oh . . . pria di layar kaca itu, mirip sekali dengan dia.
Â
Hei hei, siapakah pria di layar kaca itu ?
Ooo, Ariel Peterpan.
Â
Wah, si dia kok mirip dengannya, ya ? Oh tidak, terbalik ! Karena aku lebih dulu mengenal si dia daripada tau si artis itu. Berarti, Ariel yang mirip si dia. Hehe. Ternyata, bukan hanya aku yang merasa begitu. Orang rumahku juga bilang begitu, saat Ariel Peterpan mulai sering muncul di layar kaca sebagai vokalis dari sebuah band baru dari Bandung.
Â
Serupa dengan Ariel Peterpan, ada karisma di dirinya. Bagai magnet yang menyedot, penuh daya tarik. Semua terlihat sempurna, tak ada cacat di mataku. Hanya suara tawanya saja yang terdengar sumbang. Tapi, itu tak menjadi soal. Karena dia begitu menawan, dan hatiku telah terampas. Hilang akal sehatku karenanya.
Â
Hampir setiap hari kami berjumpa, tak banyak cerita yang kami bagi. Dia paling suka berlama-lama membaca koran olahraga, dia penggemar berat sepak bola. Hmm, pasti dia orang yang sportif. Itu penilaian sesaatku.
***
Seminggu berselang. Dia ajak aku jalan, aku enggan.
Â
Suatu hari, dia mengajakku nonton ke bioskop. Dengan catatan : dia tidak menjamin bahwa tangannya akan diam saja. Whaaat ?! Lo kira gue wanita apaan ? Berani bilang begitu ke gue. Mau grepe-grepe aku ?
Â
Pikirnya, aku ini wanita murahan apa ? Bisa ambil kehormatanku seharga tiket nonton yang dibayarinya ? Huhuu . . . pergilah kau, dasar buaya darat ! Aku bukan pawangmu, tak sanggup aku mengikuti permainanmu. Biarlah, tak mengapa aku tak jadi pacarmu, daripada hampir dimangsa buaya. BUAYA DARAT sungguh keparat.
Â
Â
Â
[caption id="attachment_195851" align="aligncenter" width="470" caption="http://akorra.com/blog/wp-content/uploads/2009/05/crocodile.jpg"][/caption]
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI