Mohon tunggu...
Shy Star
Shy Star Mohon Tunggu... -

Pikiran sehebat apa pun, tak bermakna jika tidak dituliskan. Tulisan sehebat apa pun, tak berguna jika tidak menggugah untuk dilaksanakan. BERPIKIR, BERTINDAK, BERHASIL.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Geliat Tanah Abang

2 Agustus 2010   02:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:23 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bang, di Jakarta sana . . . Abang punya apa ?” tanya si Neng—gadis kampung.

“Wah, siapa yang nggak tau tanah abang, Neng ?! Semua orang di Jakarta, pasti tau tanah abang. Neng bisa tanya orang-orang, deh.” Ujar si Abang sesumbar sambil menepuk-nepuk dadanya.

“Aih, Abang pasti orang kaya yang terpandang, ya ?” ucap si Neng terkagum-kagum.

***

Hehe, dasar si Neng . . . mau aja dikadalin ama si Abang. Terang aja orang-orang di Jakarta tau tentang Tanah Abang. Siapa sih yang nggak tau Pasar Tanah Abang yang terkenal sebagai pusat perdagangan tekstil dan garmen terbesar di Indonesia, bahkan dikenal sebagai pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara ?

 

Asal-usul Pemberian Nama Tanah Abang

Tanah Abang mulai dikenal pada abad ke-17, saat Batavia diserang tentara Mataram. Pada 1628, tentara Mataram mengepung Batavia dan menggunakan Tanah Abang sebagai pangkalan. Saat itu masih berupa tanah berbukit dan banyak rawa. Karena tanahnya merah (abang dalam bahasa Jawa), maka lahirlah nama Tanah Abang yang berarti Tanah Merah.

Sejarah pemberian nama Tanah Abang ada beberapa versi. Selain cerita di atas, ada yang bilang bahwa nama Tanah Abang berasal dari cerita “Abang dan Adik”. Konon, ada seorang adik yang meminta Abangnya untuk mendirikan rumah di kawasan itu. Lantaran rumah itu dibangun di atas tanah milik Abangnya, maka disebutlah dengan Tanah Abang.

Versi yang lain mengatakan, Tanah Abang berasal dari kata NABANG. Nabang ini sejenis pohon Palem, karena di daerah ini dahulunya banyak pohon Palem. Orang Belanda menyebutnya ‘DE NABANG’. Lidah Betawi menyebutnya Tenabang, jadilah sekarang Tanah Abang.

 

Sejarah Tanah Abang

Pada mulanya, wilayah Tanah Abang merupakan daerah perkebunan teh, kacang, jahe, melati, sirih, dan lain-lain. (Hingga saat ini, beberapa wilayah di Jakarta Pusat disebut pakai nama-nama kebon). Saat itu, kawasan Tanah Abang dijadikan area pertanian dan peternakan milik orang Cina. Salah satunya adalah Phoa Bhingamtuan tanah asal Cina, yang menguasai perkebunan tebu di Tanah Abang.

Pada 30 Agustus 1735, Justinus Vinck (orang Belanda yang kaya-raya) mendapat izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patram membangun pasar; Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen (dulu bernama Weltervreden). Surat izin tersebut menyebutkan bahwa Pasar Tanah Abang hari pasarnya adalah hari Sabtu. Dimana Pasar Senen dikhususkan menjual sayur-mayur, sedangkan pasar Tanah Abang menjual tekstil dan kelontong.

Pada mulanya, bangunan pasar Tanah Abang terdiri dari dinding bambu dan papan serta atap rumbia, dari 229 papan dan 139 petak bambu. Tahun 1740, Tanah Abang terbakar. Dibangun kembali pada tahun 1881 dan mendapat tambahan hari pasar, yaitu hari Rabu. Sehingga aktivitas pasar menjadi dua kali seminggu, Rabu dan Sabtu. Perbaikan terus dilakukan oleh penguasa. Pada tahun 1926, barulah bangunan pasar Tanah Abang terdiri dari 3 bangunan los panjang dengan dinding batu bata dan beratap genteng.

Blok A - Tanah Abang (Dok.Shy Star)

Salah satu pusat perdagangan tekstil dan garmen yang paling banyak dikunjungi orang adalah Blok A, karena lokasinya yang strategis dan suasana yang cukup nyaman. Bangunan Blok A itu adalah bangunan baru yang usai dibangun tahun 2005 (setelah terjadi kebakaran sebelumnya pada bangunan lama), dengan luas bangunan 151.202 meter persegi. Terdiri dari 18 lantai, di mana toko-toko menempati 12 lantai dengan mesin pendingin sentral. Fasilitas 149 unit eskalator, empat unit lift (capsule), dan empat unit passenger lift biasa di tiga sisi gedung; yakni tengah, kiri, dan kanan. Bagi yang malas membawa uang tunai, ada fasilitas ATM yang bisa ditemukan di beberapa tempat.

Nah kemarin, aku diajak Bunda ke sana. Bunda ingin membelikan pakaian untuk para pelanggan setianya—ibu rumah tangga dan pedagang masakan yang sering berbelanja di toko kelontongnya. Wujud ucapan terima kasih yang akan diberikan sebagai THR menjelang Idul Fitri nanti.

Bunda menutup tokonya lebih cepat dari biasanya. Tengah hari, baru kami berangkat menuju Tanah Abang. Seperti yang kuperkirakan sebelumnya, bus Mayasari Bakti P14 penuh sesak. Kami harus berdiri berdesakan dekat pintu masuk, fiuh. Untunglah, saat sampai di proyek Senen dapat tempat duduk.

Aku sampaikan pada Bunda, di Blok A nanti pasti penuh orang berdesakan juga. Karena menjelang puasa begini, banyak orang yang berbelanja pakaian ke sana. Entah belanja untuk keperluan pribadi, ataupun untuk dijual lagi alias para pedagang pakaian. Dan benar saja, inilah keramaian yang kami jumpai.

Dok.Shy Star

Baru di pintu masuk Blok A saja sudah banyak orang yang duduk-duduk di lantai. Tampaknya mereka sedang melepas lelah usai berbelanja. Tua-muda dananak-anak tumplek blek di situ. Suasana sangat ramai. Melangkah masuk ke dalam gedung, pemandangan orang dimana-mana. Di tangga naik menuju Lower Ground (LG), di tangga turun menuju SLG, di eskalator-eskalator—lautan manusia.

Dok.Shy Star

Kami menuju LG. Jalan secara pamer paha (padat merayap perlahan). Tak banyak yang bisa dibeli. Untuk bisa memilih barang apa yang ingin dibeli pun sulit, karena harus berdesak-desakan. Gerah.

Usai belanja seperlunya, kami pun menuju food court di lantai 8. Lift yang dinanti-nanti selalu full. Terpaksa memilih naik eskalator dari lantai 2 tempat kami berada. Wow, food court pun penuh orang. Antrian di beberapa counter makanan cepat saji begitu panjang. Ada banyak pilihan menu. Mau junk food ada, masakan dan camilan tradisional pun ada. Untuk makanan dan camilan tradisional tersaji di gerobak-gerobak khas penjaja makanan tersebut. Seperti : serabi solo, asinan betawi, es doger, siomay bandung, dsb. Untuk mendapatkan meja pun susahnya minta ampun. Terpaksa bertanya kesana-kemari, asal melihat orang yang cuma duduk sendiri atau berdua, kutanya apakah sisa bangku yang ada di mejanya ada yang duduki atau tidak ? Syukur beroleh meja, berbagi dengan seorang ibu dan anak gadisnya. Ada beberapa orang yang makan sambil berdiri, bahkan ada satu keluarga yang makan sambil duduk ngedeprok di lantai. Parah ya ?

Food Court (Dok.Shy Star)

Usai makan siang, kami pun pulang. Melewati gang sempit di samping gedung Blok A. Berjalan di muka rumah-rumah kumuh di bantaran kali yang kotor. Sempat melewati sebuah klenteng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun