P
eter Berger, sosiolog agama terkemuka, pernah salah memprediksikan masa depan agama-agama. Pada tahun 1968, Berger berwacana di New York Times bahwa para penganut agama pada abad ke-21 mungkin hanya akan menjadi sekte-sekte kecil, yang sudah terdesak sehingga harus bersama-sama melawan satu budaya sekuler di seluruh dunia (Rainer Traub, “Religion Trends: The Spread of Faith”, Der Spiegel, 15 Januari 2007).
Belakangan kemudian, Berger meninjau kembali pandangannya dan ia mengakui bahwa pernyataan tersebut merupakan “satu kesalahan besar”. Rainer Traub menulis bahwa sang sosiolog agama itu tidak kurang mulai berbicara tentang “desekularisasi dunia” dengan penuh keyakinan. Ia mengulas fakta global bahwa perkembangan agama-agama dunia dipengaruhi secara paling signifikan oleh ide-ide pluralisme, dan bukan oleh teori sekularisasi. Artinya, pandangan tentang kematian agama-agama pada abad ke-21 hanyalah suatu ilusi!
Respons korektif
Tindakan Berger menunjukkan bahwa seorang ilmuwan mampu mengoreksi pandangannya sendiri. Ia tidak kehilangan kemampuan melakukan evaluasi objektif, lepas dari subjektivitas pribadi yang berpotensi menghambat upaya menjelaskan sesuatu yang seharusnya dibuat terang benderang. Prinsip hukum Romawi kuno nemo judex in causa sua sudah memberikan satu kearifan, yakni bahwa “tak seorang pun menjadi hakim dalam kasusnya sendiri”.
Di negara kita sejak era Reformasi, prinsip kuno yang senantiasa relevan ini justru paling sering dilanggar menyangkut penanganan ketegangan antarumat beragama berbeda dan intraumat beragama. Berulang kali, pihak-pihak tertentu bertindak sendiri sekaligus sebagai polisi, jaksa penuntut, dan hakim dalam kasus yang melibatkan dirinya sendiri—atau diasosiasikan “mengusik” kepentingan golongan umat dominan tertentu.
Dan yang memprihatinkan aparat penyelenggara Negara sering terkesan “membiarkan” atau memberi angin kelompok-kelompok ekstrem tertentu leluasa bertindak sendiri menghakimi pihak-pihak yang berseberangan dengan mereka. Padahal sesuai amanahnya, “tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat”!
Dalam sebuah konferensi dua tahunan tentang agama, politik, dan kehidupan publik di Florida (Desember 2006), Peter Berger sempat membahas asal usul istilah pluralisme. Istilah ini diperkenalkan oleh Horace Kellen, filsuf Amerika Serikat, pada tahun 1920-an. Kellen menggunakan istilah pluralisme dalam pengertian yang sangat normatif, dalam cara merayakan ketenteraman eksistensi bersama golongan-golongan yang berbeda agama, ras, dan etnis di Amerika Serikat.
Di bumi Pertiwi tercinta, ketenteraman eksistensi bersama antaragama-agama yang berbeda senantiasa rentan tatkala interaksi sosial antarumat cenderung minimalis formal, sekadar basa basi, atau sama sekali tidak ada. Namun, kebersamaan sebagai sesama anak bangsa, entah apa pun agama atau etnisnya, baru benar-benar teruji tatkala setiap orang dimungkinkan untuk saling memengaruhi seorang terhadap yang lain dalam hal kebaikan (kemaslahatan) hidup bersama melalui percakapan yang genuine.
Umat-umat agama berbeda yang tinggal berdekatan meskipun sepakat untuk tidak berkonflik tidak serta merta menunjukkan penghormatan pluralitas, jikalau kesepakatan itu tidak disertai interaksi sosial antarumat tersebut. Berger memberikan penekanan yang sangat penting pada adanya interaksi sosial. Tanpa interaksi sosial itu, kita hanya berwacana tentang pluralisme dan akan dibuat bingung sendiri tatkala melihat dinamika perkembangan dunia kita.
Tinggalkan model “reconquista”
Eugene B. Borowitz (2003) pernah menyatakan betapa terbatasnya kejernihan teoretis tentang summum bonum, tentang bagaimana cara untuk membedakannya dari kepalsuan yang menakutkan, dan bagaimana cara untuk menggambarkan pengertian itu sebagai satu keperluan yang mendesak. Dalam tulisan ini, saya memaknai pernyataan Borowitz dalam konteks penanganan apa pun yang menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk soal bakti seseorang kepada Sang Khalik. Kita prihatin bahwa energi bangsa sudah sering terhambur-hambur percuma karena kita tidak sepakat dan kurang solid sebagai satu bangsa yang besar. Kita agak jarang mampu bertindak resolutif, seperti sekarang misalnya, apakah kita bertekad untuk tidak memberi sedikit pun peluang aksi kelompok-kelompok ekstrem manapun agar mereka jera menebar teror di negeri ini?
Komunitas umat-umat beragama seharusnya bisa menjadi penggerak kekuatan moral dan sosial untuk mewujudkan summum bonum. Peranan agama-agama tidak bisa dinafikkan meskipun pengaruhnya bisa saja meredup di beberapa bagian dunia. Berbagai survei menunjukkan revival agama-agama dunia merupakan peningkatan “extra-ecclesiastical religiousity” secara signifikan.
Ada prediksi yang menempatkan Islam sebagai kandidat agama terbesar di dunia. Pada tahun 2007, eksistensi 15 juta warga Muslim di Eropa menunjukkan salah satu gebrakan penyebarannya di seantero dunia. Tahun 2010, sekitar 5 persen populasi masyarakat Uni Eropa menganut agama Islam. Perkembangan ini termasuk fenomena global yang luar biasa dan menjelaskan implikasi dari pluralisme. Arsip Keislaman Jerman mencatat peningkatan hampir 50 persen warga Muslim yang bersholat Jumat dalam lima tahun pertama millennium ini, menyusul peristiwa serangan 11 September 2001.
Agama Kristen disebut sudah “kehabisan napas” dan semakin meredup di Eropa Barat. Namun, Rainer Traub menjelaskan ledakan penganut baru Kristen (converts) di benua hitam, Afrika. Jumlahnya mendekati 390 juta pada tahun 2007 (angka itu mencakup hampir separuh dari seluruh populasi di Afrika), meningkat dari jumlah 10 juta tahun 1900. Senada dengan Traub, Berger (2006) menyebut suatu gerakan keagamaan yang paling cepat pertumbuhannya di sepanjang sejarah, tidak kurang ia menggunakan kata-kata “ledakan agama yang paling dramatis” di dunia, tatkala membahas peringatan revival di Azusa Street.
Terakhir, kita juga perlu memperhatikan satu catatan yang cukup mencemaskan seandainya setiap pencapaian penting sering ingin diupayakan dengan model reconquista, yang menurut Berger bertabiat antipluralisme. Penggunaan model ini di Spanyol pernah mencabik-cabik negara itu di kubangan perang tiada akhir.
Bukti-bukti empiris lain sudah cukup tersedia. Sebelum era keterbukaan berhasil mengubah Rusia dan China, dua negara yang dahulu menerapkan sistem totaliter itu pun sangat kesulitan memberangus kemerdekaan beribadah. Oleh sebab itu, setiap umat dari agama misioner apa pun sebaiknya meninggalkan penggunaan reconquista dalam seluruh siar agama. Bukankah kita tidak ingin mengulangi sejarah kelam berdarah-darah dari abad-abad yang silam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H