T
aklimat spiritual leadership kembali mengisi ruang perenungan saya pada akhir Juli hingga awal Agustus 2010 lalu. Subjek ini tidak baru-baru amat namun terasa memancarkan kesejukan di tengah membludaknya beragam spiritualitas yang sekarang sering disandingkan entah dengan kecerdasan, dengan personality, atau dengan kepemimpinan.
Ternyata, konsep ellipscukup membantu saya memahami spiritual leadership (SL). Editor majalah Men of Integrity, Chris Lutes, meminjam pengertian ini dari buku The Leadership Ellipse (IVP, 2010) karya Robert Fryling.
Fryling mengagumi keindahan geometri ellips yang ia bayangkan memiliki dua titik menonjol untuk bisa membentuk SL. Titik pertama adalah penghayatan kedalaman olah rohani sang pemimpin. Titik kedua merupakan perilaku organisatoris sang pemimpin sebagaimana yang tampak ke luar, melalui apa yang dikerjakan dan bagaimana dia mengerjakannya. Bahwa ellips hanya bisa dibentuk dengan keberadaan bersama dua titik itu membuat keduanya mendefinisikan dan memberikan batasan kepemimpinan yang sebenarnya.
Derajat kepentingan kedua titik itu setara dan merepresentasikan tekanan dinamis di antara keadaan jiwa sang pemimpin dan tindakan-tindakannya. Dalam hal ini, tampak jelas bahwa dua titik menonjol itu masing-masing berbeda. Namun, yang pertama tidak inferior terhadap yang lain, demikian pula sebaliknya, dan keduanya sama-sama diperlukan untuk membentuk sebuah ellips.
Orbit ellips
Bangsa kita mengenal peribahasa pepat di luar, rancung (pancunya) di dalam. Maknanya untuk menunjukkan satu peringatan guna memastikan agar seluruh kebaikan (kesucian, kesalehan, dsb.) pada diri seorang pemimpin sebagaimana tampak pada perilaku, perkataan, dan perbuatannya, benar-benar mencerminkan kebaikan batinnya (hatinya).
Ilmu pengetahuan sudah membuktikan bahwa bumi kita sebenarnya berbentuk bulat pepat, alias tidak bulat sempurna seperti bola. Bumi mengelilingi matahari pada lintasan garis edar (orbit) berbentuk ellips. Coba bayangkan satu garis diameter simetris menghubungkan kedudukan titik terjauh (aphelium) dengan titik terdekat (perihelium), dan di antara kedua titik itu terdapat titik pusat ellips (matahari). Dengan menggunakan analogi orbit bumi mengedari matahari, kita bisa menautkan gambaran ini dengan pengertian SL-nya Fryling.
Chris Lutes akhir Juli lalu mengutip kata-kata Fryling, bahwa para pemimpin menghadapi godaan untuk berpura-pura. Setiap pemimpin umumnya digoda untuk ingin disukai dan diikuti oleh publik, meskipun disertai juga dengan kegalauan akan peranan mereka yang ternyata lebih rapuh daripada yang bisa diharapkan. Mereka menyangka dirinya mampu menjadi pengendali yang lebih baik daripada kenyataan sebenarnya. Seandainya pemimpin cepat menyadari godaan untuk memuaskan diri atau memahami kepalsuan ini, ia bisa berganti dengan sikap tanggap yang sehat. Alih-alih bergeming pada keyakinan diri sendiri yang membuatnya tidak ingin berubah, sang pemimpin akan mulai membuka diri untuk mendengarkan orang-orang lain.
Patut diperhatikan, kegalauan bisa juga membuat pemimpin bertindak berlebihan hingga melampaui kewenangannya atau seandainya bertindak pun hanya agar terlihat baik. Kepongahan perilaku itu mirip dengan kelakuan seekor merak yang memamerkan diri demi menarik rasa hormat dari para pengikut.
Integritas sejati
Pengolahan kedalaman batiniah membuat hidup pemimpin berbuah sepenuhnya dan nyamleng. Ia bisa berdamai dengan dirinya dan membuat dirinya memiliki integritas sejati. Di sini terdapat kebutuhan untuk merangkul dan mewujudkan dua titik yang menonjol, yakni penguatan sisi kerohanian melalui hubungan internal (ke dalam) dengan Sang Khalik dan hubungan eksternal (ke luar) dengan orang-orang lain. Pemisahan atau pengisolasian hidup batiniah di sisi dalam seseorang (interrior life) dari sisi luarnya yang tampak sehari-hari (exterior life) akan menghambat upaya orang itu untuk mencapai suatu keberhasilan sepenuhnya.
Satu pertanyaan, apakah setiap pemimpin sudah mengeling hidupnya berpusat kepada Sang Khalik agar ia dimampukan bekerja dan melayani dari tempat yang tepat?
Sang Khalik sudah menyampaikan undangan untuk memulihkan para pemimpin. Undangan itu jika dalam bahasa populer kira-kira berbunyi demikian, “Datanglah kepada-Ku engkau yang sudah mati gaya dan berkelindan dengan keruwetan hidupmu yang kusut, akan Kuberikan kelegaan kepadamu!”
Dinamika kehidupan membuat pemimpin kadang-kadang mendekat dan kadang-kadang juga menjauhi Sang Khalik. Tatkala seorang pemimpin bekerja secara berlebihan terbaca isyarat satu kegelisahan. Ia disedot untuk memimpin dengan pola mengikuti letupan isu-isu temporal. Artinya, ia tidak lagi memimpin secara efektif! Alangkah menyedihkan penuturan kisah seseorang mencoba mengerjakan sesuatu yang lain atau menjadi satu pribadi yang melenceng keluar atau melampaui desain untuk dirinya sebagai makhluk ciptaan!
Satu seruan nyaring harus segera ditanggapi, “Isilah hidupmu dengan dirimu yang sebenarnya!”
Hukum Keppler II menjelaskan dua keadaan. Pertama, jarak yang lebih panjang pada orbit ditempuh oleh bumi dengan lebih cepat tatkala kedudukan bumi dan matahari relatif dekat. Kedua, jarak yang lebih pendek pada orbit ditempuh oleh bumi dengan lebih lambat tatkala kedudukan bumi relatif menjauhi matahari.
Beranalogi dengan menggunakan penjelasan Hukum Keppler II, muncul satu pengertian bahwa cepat atau lambatnya respons tanggap seorang pemimpin bergantung pada kedudukan sang pemimpin terhadap Sang Khalik yang relatif dekat atau jauh.
Mendiang Presiden Indonesia keempat, Gus Dur, pernah menyebut istilah “penugasan langit” untuk sesuatu yang mungkin bisa disamakan dengan SL. Sejarah sudah membuktikan bahwa dari generasi ke generasi dalam setiap zaman, TUHAN senantiasa membangkitkan orang-orang yang dikehendaki-Nya untuk menjadi mandataris yang mewujudkan ketetapan-ketetapan-Nya di dunia. Dengan meyakini Inisiator utama SL adalah Sang Khalik sendiri, kita memahami bahwa kepemimpinan yang lahir dari mandat langit jelas berbeda dari kepemimpinan yang lazim pada umumnya!
Editor Chris Lutes mengaku hanya menyukai kelakar pembicara motivasional tatkala mereka membuka suatu acara. Saya agak sependapat dengan Lutes, bahwa sesudah mendengar isi pembicara mereka selama beberapa saat, daya dorong presentasi mereka yang tinggi terasa lebih menyerupai suatu bualan dan promosi yang berlebihan, alih-alih memberikan satu pengharapan. Mengapa?
Di luar hubungan pribadi yang esensial dengan Sang Khalik, selalu terdapat satu kekurangan mendasar sebab jiwa seseorang yang lapar senantiasa membutuhkan hubungan yang lebih mendalam dengan-Nya— hubungan yang tidak mampu digantikan dengan kata-kata manusia, sebernas apa pun kata-kata mereka!
Banyak pemimpin sudah mencari pemuasan diri dari dan ke tempat yang keliru. Untung saja beberapa tradisi iman tertentu menetapkan penggunaan satu hari yang dikhususkan untuk bersekutu bersama Sang Khalik di antara tujuh hari dalam sepekan. Penggunaan satu hari itu setara dengan 14 persen dari waktu untuk bekerja! Jiwa manusia selalu membutuhkan rehat yang teratur, sama seperti rehat bagi tubuhnya.
Seseorang berkata bahwa Negara tidak boleh pernah tidur. Namun, setiap pemimpin harus bekerja dan rehat pada waktunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H