Para ahli sepakat bahwa sejarah kopi berawal dari Abyssinia atau Habasyah, yang kini meliputi wilayah Ethopia dan Eritrea. Kopi mulai menjadi komoditas ekonomi yang cukup diperhitungkan karena khasiatnya yang mampu memberikan tenaga ekstra bagi orang yang meminumnya. Karena khasiatnya tersebut, Bangsa Arab menyebutnya dengan "Qahwa".Â
Bangsa Arab pulalah yang tercatat pertama kali membawanya keluar dari Abyssinia menuju Yaman dan memonopoli perdagangannya. Mereka menjadikan Pelabuhan Mocha di Yaman sebagai satu-satunya pintu lalu lintas perdagangan komoditas kopi saat itu. Bangsa Eropa menyebut kopi dengan mocha, mengacu dari tempat komoditas itu diperdagangkan.
Memasuki abad ke-17, Bangsa Eropa mulai mengembangkan perkebunan kopi sendiri. Awalnya mereka menanamnya di daerahnya sendiri, namun tanaman kopi tersebut tidak dapat tumbuh karena iklim di Eropa tidak cocok untuk  tanaman tersebut. Berikutnya mereka mengembangkan perkebunan kopi di daerah jajahannya, upaya ini membuahkan hasil.Â
Karena bibitnya didapat dari Bangsa Arab, maka tanaman jenis kopi kala itu dikenal hanya Kopi Arabika. Bangsa Belanda mengembangkan perkebunan dan produksi kopinya di Pulau Jawa. Dalam kurun waktu tertentu di masa lalu bahkan Kopi Jawa cukup terkenal di pasaran dunia, sehingga Bangsa Eropa kerap menyebut secangkir kopi dengan istilah "Cup of Java" atau "Secangkir Jawa". Produksi kopi dari Jawa selanjutnya menggeser dominasi kopi dari Yaman.
Pada tahun 1878, tanaman kopi di Jawa, khususnya yang ditanam di dataran rendah, rusak terserang penyakit karat daun. Hal ini membuat Pemerintah Kolonial Belanda mendatangkan jenis Kopi lain dari Liberia, kopi jenis ini kemudian dikenal dengan Kopi Liberika. Tanaman kopi jenis ini pun, di dataran rendah ternyata juga tidak tahan terhadap penyakit karat daun.
Berikutnya Pemerintah Belanda mendatangkan jenis tanaman kopi lain yang telah diteliti di kebun raya di Belgia dan lebih kuat terhadap serangan penyakit karat daun. Jenis kopi ini pertama kali ditemukan di Kongo, selain itu juga banyak tumbuh di Sudan, Liberia, dan Uganda. Karena cita rasa pahitnya yang kuat, kopi jenis ini disebut sebagai Kopi Robusta.
Hingga saat ini perkebunan-perkebunan kopi di Indonesia didominasi jenis robusta. Dalam perdagangan komoditas kopi global, Indonesia merupakan penghasil kopi robusta terbesar dunia setelah Vietnam dan Brasil. Lebih dari 80% perkebunan kopi di Indonesia ditanami robusta, sekitar 17% ditanami arabika, sebagian kecil sisanya ditanami liberika dan excelsa.Â
Biji kopi robusta banyak digunakan sebagai bahan baku kopi siap saji (instant) dan pencampur kopi racikan (blend) untuk menambah kekuatan cita rasa kopi. Selain itu, biasa juga digunakan untuk membuat minuman kopi berbasis susu seperti capucino, cafe latte dan macchiato. Meskipun demikian, biji kopi robusta dianggap inferior dan dihargai lebih rendah dibanding arabika.
Pada era Van Den Bosch diangkat menjadi  Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Pemerintah Kolonial Belanda dihadapkan pada masalah krisis keuangan akibat Perang Jawa/Perang Diponegoro yang berkepanjangan.Â
Keberhasilan Koffie Stelsel atau Preanger Stelsel (kebijakan tanam paksa kopi di wilayah Priangan) yang diterapkan oleh VOC di masa lalu serta harga kopi di pasaran dunia yang kala itu tengah mahal, membuat Van Den Bosch menerapkan kebijakan serupa untuk mengatasi krisis keuangan. Kebijakan Cultuur Stelsel tersebut, memaksa rakyat menyediakan seperlima bagian tanah miliknya untuk ditanami kopi dan disetorkan pada Belanda. Bagi penduduk yang tidak memiliki tanah, wajib bekerja di tanah-tanah perkebunan Belanda selama minimal 75 hari.
Karena mahal dan berharganya komoditas kopi, maka hanya orang Belanda dan kalangan elit priyayi yang bisa menikmati cita rasa seduhan kopi. Rakyat jelata yang ingin menikmatinya, hanya bisa memunguti ceceran biji Kopi Arabika yang telah dimakan Musang/Luwak. Kopi rakyat yang terolah dari gumpalan kotoran Luwak tersebut ternyata memiliki cita rasa yang lebih baik dibanding kopi Arabika biasa.Â