Ramadan, sejatinya dimaknai sebagai momentum sakral, dimana integritas dan produktifitas ibadah manusia beriman seharusnya bersenyawa. Ramadan adalah perjumpaan paling privat dalam konteks ibadah yang transparansi pahala dan dosanya hanya diketahui sang hamba dengan Tuhannya saja.Â
Namun, realitas kekinian menonjolkan sisi lain Ramadan. Bulan suci ini, telah direduksi menjadi satu-satunya pasar lelang paling menggiurkan, dimana manusia-manusia yang berpuasa semakin sibuk berburu merk dan mengonsumsi image.
Semakin kemari, disadari ataupun tidak, Ramadan sudah dijadikan mesin konsumerisme yang memproduksi hasrat belanja, ketamakan, kealiman simbolik, dan komoditas kapitalisme.
Orang-orang mulai menggunakan sarung dan peci sebagai tren, bukan lagi kearifan lokal yang merefleksikan kecintaan akan ibadah. Sebagian ibu-ibu bahkan mulai pilah-pilih mukena mana yang bakal masuk bursa belanja gede-gedean jelang lebaran.
Tak cuma itu, beberapa produsen pun mulai mengaprahkan produknya sebagai entitas kesalehan. Mereka berjualan tak lagi mencari berkah tetapi mencari untung, sebab dipikirnya, kita akan rela membuang berapa rupiah pun demi hasrat dan euforia. Malahan, tak sedikit ustad yang dijadikan ujung tombak konsumerisme.
Para alim yang kita sebut ustad, yang saban hari memberi tausiah di layar kaca dan saluran radio, kini bukan lagi pewarta Tuhan melainkan sales kapitalisme. Agama dijajakan pada jam-jam prime time demi kepentingan kapital institusi media. Dalam masalah ini, peribadatan menjadi bayang-bayang, sedangkan ketaatan berubah imajiner.
Aaah, jangan-jangan benar apa kata Graham Ward bahwa komodifikasi agama kerap berdekatan dengan kapitalisme. Mungkin juga menjadi sirkuit akumulasi kapital; money - commodity - and more money. Pertukaran nilai-nilai agama menjadi lebih sedikit dibandingkan pertukaran uang.
Oh...Tuhan, mungkinkah ibadah Ramadan ini hanya sebatas ritus dan euforia? Luruskah kita saat menggunakan merk dan image sebagai modal ibadah, sementara esensinya yang teramat personal terlupakan?
Mari penjarakan segala hasrat konsumtif kita akan dunia, mengerangkeng syak wasangka, dan kembali pada hubungan transenden yang teramat intim dengan Tuhan.(SR)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H