Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

5 Alasan Gagalnya Skenario Makar

24 Mei 2019   07:49 Diperbarui: 24 Mei 2019   08:16 2088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gonjang-ganjing kerusuhan 22 Mei kemarin masih saja berlangsung. Banyak warga yang menyoroti aksi para perusuh yang memprovokasi aparat keamanan hingga terpaksa memukul mundur mereka sampai ke sekitaran kawasan Tanah Abang. Alhasil, aksi yang semula damai tersebut, seketika berubah jadi kerusuhan antar sekelompok warga "perusuh" dengan pihak kepolisian yang berjaga hari itu.

Sekilas, nampak aksi damai yang disebut Gerakan Kedaulatan Rakyat berjalan mulus, namun hal itu berubah drastis setelah kedatangan segerombolan pemuda bertato yang kini tengah diamankan kepolisian lantaran disinyalir kuat sebagai perusuh.

Para pelaku kerusuhan itu nampaknya bukan bagian dari kelompok pendemo, melainkan para penunggang bebas demonstrasi yang bergerak simultan dan rapi berdasarkan komando tertentu. Terbukti, hal itu mengarah ke pembakaran markas brimob dan penjarahan took/kios makanan yang diduga kuat narasi chaos.

Sayang seribu sayang, polisi yang juga tak kalah cepat dengan para perusuh itu, memang sudah mampu mengantisipasi dengan baik provokasi kekisruhan tersebut, bahkan jauh-jauh hari sudah mengendus keterlibatan sejumlah kelompok radikal yang akan beraksi (melakukan aksi pemboman) pada demo people power tersebut.

Kalau mau ditelisik lebih jauh, menurut pakar komunikasi politik Gun Gun Heryanto ada lima faktor utama yang secara kacamata politik menjadi sebab gagalnya skenario people power yang berpotensi makar tersebut:

Pertama, tidak adanya musuh bersama (common enemy). Harus diakui, skenario people power 22 Mei kemarin yang bertujuan menolak hasil pemilu juga diskualifikasi Jokowi-Amin, akhirnya tak berjalan mulus lantaran memang selama ini masyarakat merasa tak ada problem serius dari Jokowi-Amin selama kontestasi. Alhasil, skenario KPU curang, Bawaslu tidak independen, dan diskualifikasi 01 pun gagal atau mental dengan sendirinya lantaran masih banyak warga yang berpikir waras dan percaya terhadap pemerintah. Hal ini tentu berbeda dengan gerakan reformasi 1998 yang pada saat itu, Soeharto dan cendana merupakan musuh bersama, bukan hanya musuh lawan politik saja.

Kedua, tidak adanya friksi di tubuh militer. Kalau ini jelas terlihat pada saat demo 22 Mei kemarin dimana polisi dan TNI bersatu padu melawan para perusuh dan berusaha menggagalkan kemungkinan skema besar seperti kudeta atau makar. Polisi dan TNI justru sebagai garda terdepan dalam melindungi rakyat sekaligus membebaskan negeri ini dari para perusuh. Polisi dan TNI juga tak mempan diadu domba satu sama lain maupun dengan masyarakat. Bahkan mereka menuai pujian dan diberi bunga oleh para mahasiswi cantik yang turut aksi, bahkan aktris cantik Dian Sastro pun berencana mengadakan bantuan logistik berupa makanan kepada aparat yang menjaga jalannya demo.

Ketiga, terhambatnya masifikasi isu. Langkah cerdas pemerintah dengan membatasi akses produksi dan distribusi informasi dari media sosial berdampak signifikan pada penguatan isu di masyarkat. Hal ini terbukti dengan tidak signifikannya jumlah demonstran seperti pada demonstrasi berjilid-jilid sebelumnya. Isu people power pun akhirnya kian melemah ketika pemerintah gencar mengumumkan kemajuan demi kemajuan dalam penangan demo 22 Mei, baik dari sisi strategi menjaga demonstrasi hingga menangkap pelaku dan mengungkap para dalang kerusuhan.

Keempat, krisis ekonomi. Nah, sangat berbeda dari 1998 dimana salah satu faktor tumbangnya Soeharto dikarenakan adanya krisis ekonomi (krismon) yang membuat nilai tukar rupiah sangat lemah dan rendah, kemampuan ekonomi Indonesia justru stabil dan berkali-kali dipuji banyak negara karena mampu bertahan dari resesi global yang melanda Amerika hingga sebagian Asia. Sehingga tak heran jika adagium "logika beerbenturan dengan logistik itu, chaos" menjadi kuang relevan dan tak terbukti.

Kelima, adanya tokoh pemersatu. Kalau boleh dibilang, memang kohesivitas kelompok 02 memang terbukti cukup solid dalam urusan turun ke jalan untuk demonstrasi dll. Tapi kohesivitas tersebut lambat laun kehilangan sosok pemersatu. Mengapa? Sebab tokoh yang dielu-elukan yaitu Riziq Shihab tak ada di Indonesia dan sulit mengontrol massanya. Prabowo pun nampak gamang, di mana ia kini telah meminta para pendukugnya pulang atau bubar dari gerakan kedaulatan rakyat, sehingga gerakan ini seakan-akan kehilangan tokoh pemersatu isu. Kini, satu-satunya orang yang getol mempropagandakan people power hanyalah Amin Rais yang juga pada akhirnya mulai dipanggil pihak kepolisian lantaran narasi-narasi dari seorang Amin Rais jauh dari kata meneduhkan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun