Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Membaca Narasi Survei Kompas

28 Maret 2019   23:30 Diperbarui: 28 Maret 2019   23:48 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Kompas

Pemilihan umum (Pemilu) kerap kali diwarnai polemik menyoal publikasi hasil riset lembaga-lembaga survei opini publik yang kehadiran mereka sejatinya turut menyemarakkan pesta demokrasi itu sendiri. Kalau diperhatikan, hampir saban waktu hasil riset dari berbagai lembaga survei disiarkan media, bahkan tak sedikit media yang juga mengadakan survei.

Hasil riset yang dipublikasikan, cenderung menjadi berita utama yang memantik diskursus publik. Mengapa begitu? Sebab saat ini, survei merupakan salah satu instrumen politik yang punya posisi strategis dalam ihwal prediksi hasil elektoral sekaligus menarik dijadikan bahan pemberitaan (media news framing).

Namun, sukses tidaknya sebuah lembaga survei bukan karena diperbincangkan terus-menerus, tapi karena akurasi survei tersebut. Tentu saja, survei tersebut dengan tepat menampilkan suara publik terkait dinamika politik dan sikap mereka sebagai pemilih, yang mencerminkan suatu kedaulatan rakyat (supremacy) dalam hal memberi mandat politik. Rousseau menyebutkan hal ini sebagai the general will alias supremasi warga negara yang mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum.

Pakar komuniaksi Politik Gun Gun Heryanto dalam tulisannya "Etika Lembaga Survei", berpendapat bahwa untuk mendengar dan memahami orientasi kehendak umum tersebut, dibutuhkan inovasi metodologi modern yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu pendekatan itu adalah survei. 

Meskipun dalam praktiknya, aktivitas survei itu pun kerap terbagi menjadi survei non-scientific seperti SMS survey (call in survey), internet survey, selain juga scientific survey yang ketat dengan standar-standar ilmiah untuk mengetahui, mengukur, memprediksi kehendak publik yang berkembang misalnya dalam pemilu.

Namun yang menjadi polemik sekarang dari lembaga survei dan rilis surveinya adalah narasi yang dibangun dengan hasil survei tersebut. Mengapa perlu kita menyoroti narasinya, sebab di sanalah letak suatu lembaga survei turut serta dalam operasi pengendalian opini publik. Inilah yang sedikit menyeret rilis survei Kompas menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat karena narasi yang terbangun cukup membuat kubu Jokowi merasa was-was.

Kompas merilis hasil survei beberapa waktu lalu. Hasilnya,  Jokowi-KMA masih unggul 49,2% melawan Prabowo-Sandi 37,4%. Meski hasilnya masih menunjukkan Jokowi menang, akun twitter Kompas (@hariankompas) membuat cuitan yang cukup menyentak kesadaran publik juga tim Jokowi-KMA: "Jangan lupa menyimak hasil # SurveiKompas2019 yang menunjukkan selisih elektabilitas dua calon peserta Pemilihan Presiden yang menyempit. Baca laporan lengkapnya dan nantikan laporan lain pada edisi-edisi mendatang ". Sementara itu, berita utama Harian Kompas Penerimaan: "Rapat Umum Menentukan "yang diharapkan dari hasil besar masih bisa berubah. 

Pilihan kata "menyempit" dalam elektabilitas, tentu saja merupakan diksi yang menimbulkan efek perang urat syaraf. Belum lagi ditambah judul headline yang mengisyaratkan kewaspadaan bagi kubu Jokowi untuk mengambil keputusan-keputusan tepat menjelang pencoblosan nanti. Selain itu, meskipun mayoritas lembaga survei mengunggulkan Jokowi-KMA, namun survei Kompas sebagai lembaga pemberitaan yang kredibel dengan kinerja litbang yang luar biasa keren, tentu saja menjadi warning bagi Jokowi. 

Tapi, kalau dilihat dari sisi pemberitaan, boleh jadi ini bagian dari strategi Kompas memenangkan pasar pembaca lebih banyak, minimal dari pemberitaan ini saja. Dan pada akhirnya, semua survei yang terpercaya (termasuk survei Kompas), menyimpulkan bahwa probabilitas pasangan Jokowi-KMA menang pada Pilpres 2019 masih tetap tinggi.

Selain perkara kepentingan media itu sendiri, boleh jadi survei Kompas diminati publik karena hasil survei yang dikemas dalam narasi apik itu menjadi pembeda sekaligus menyegarkan kembali semangat publik yang barangkali bosan dengan survei-survei yang menggunakan narasi Jokowi-KMA menang dalam Pilpres. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun