Tak terasa, pemungutan suara Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif tahun ini tinggal 22 hari lagi. Serangkaian fase pemilu telah dilewati, mulai dari pendaftaran hingga sejumlah debat tersisa dan kampanye terbuka (face to face informal) yang tengah getol dilakoni para paslon Capres-Cawapres.
Melihat lebih jauh lagi, nampaknya fase kampanye terbuka ini membuat para paslon kian gencar mendatangi kantung-kantung pemilih, memilah dan memilih strategi kampanye yang cocok untuk tiap-tiap ceruk pemilih. Sejauh ini, yang menjadi perhatian besar mesin pemenangan adalah ceruk swing voters. Namun sebelum membahas lebih dalam, saya ingin menjelaskan sedikit tentang ceruk pemilih ini yang sampai sekarang masih banyak disalahpahami.
Pertama, memahami terminologi swing voters. Sederhananya, swing voters adalah pemilih yang mengalami kegamangan dalam menentukan pilihan. Kedua, memahami dua tipe swing voters:Â
1) Pemilih pemula; mereka baru menjadi peserta pemilu untuk pertama kali (rentang usia, 17-21 tahun), tidak punya referensi figur representatif, dan minimnya pengetahuan tentang politik.Â
2) Mereka yang sudah pernah memilih pada pemilu sebelumnya, namun menjadi bimbang dengan pilihan saat ini karena adanya cognitive dissonance, di mana adanya keberbedaan antara yang dipikirkan dengan yang dirasakan pasca kontestasi akibat evaluasi.Â
Kalau melihat data, jumlah pemilih pemula yang sudah terdeteksi jauh sebelum terompet Pemilu 2019 dibunyikan karena tim pemenangan tentu sudah melakukan berbagai langkah ilmiah untuk memastikan ini, di antaranya melalui survei politik. Sejauh ini, yang diindikasikan sebagai swing voters dalam kategori pemilih muda, itu berusia 17-40 tahun dan mencapai 100 juta pemilih. Tentu saja, ini menjadi porsi pemilih signifikan dalam Pilpres kali ini.
Merujuk pada data Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pemilih muda memang lebih dari 50% yang jika dikategorisasi hingga usia 35 tahun maka jumlahnya mencapai 79 juta, tetapi jika sampai 40 tahun maka jumlahnya mencapai 100 juta. Tak hanya itu, 70 persen di antaranya sudah memiliki pekerjaan dan 30 persen lainnya tidak memiliki pekerjaan, seperti ibu rumah tangga.
Di lain sisi, ada sekitar 52 persen adalah karyawan yang bekerja di sektor ritel, seperti staf kantoran, buruh pabrik, penjaga minimarket, bahkan menjadi office boy. Sekitar 20 persen bergadang, baik yang offline maupun online dengan rata-rata penghasilan 1.5 juta rupiah hingga 5 juta rupiah perbulan.
Namun yang menjadi ciri paling mencolok adalah swing voters tidak berminat bicara politik dan jarang berdiskusi tentang politik dan pemerintahan, kerap termakan isu-isu propaganda akibat minimnya upaya verifikatif dari mereka sendiri, cenderung mengikuti pilihan umum karena sulit mengidentifikasi figur yang layak dipilih sebagai pemimpin, dan terkadang mudah "bermain hati" jika disodori data-data yang sulit ditemukan data pembandingnya.