Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Jokowi dan Jebakan Retorika Manipulatif

6 Februari 2019   00:05 Diperbarui: 6 Februari 2019   10:47 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo menyampaikan arahan saat membuka Kongres XIII Ikatan Akuntan Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Selasa (11/12/2018).(Antara Foto/Puspa Perwitasari)

Sebagus apapun kinerja Jokowi, akan tetap dianggap buruk oleh kerumunan 212 dan kubu Prabowo. Pun sebaliknya, sebagus apapun visi-misi Prabowo-Sandi, akan dianggap wacana semata. 

Begitulah politik, peran kerumunan menjadi penting untuk mengokohkan manipulasi logika karena biasanya kritik itu tidak mempan diarahkan pada sejumlah kerumunan yang sudah terkoorientasi dengan baik.

Contoh mutakhir, ketika Jokowi mengatakan bahwa kubu lawan memainkan teknik propaganda ala Rusia, maka pernyataan yang dianggap blunder secara permainan bahasa (retorika) ini, sekejap kembali diarahkan kepada Jokowi.

Bahkan hal ini bisa dibawa ke ranah hukum seperti yang ingin dilakukan Fadlizon. Kalau isu ini terus dipanaskan mesin pemenangan lawan.

Tak menutup kemungkinan menambah kegalauan para pemilih dalam ceruk kelompok yang belum menentukan pilihan (undecided voters) juga para pemilih yang masih mungkin bermain hati (swing voters).

Oleh karena itu, masih ada waktu bagi kubu Jokowi untuk memperbaiki ketegangan retorika yang kini tak lagi lentur seperti biasanya. Jokowi haruslah diarahkan lebih kalem seperti jati dirinya yang selama ini tampil di media sejak memimpin Jakarta hingga menjadi Presiden.

Jokowi jangan terjebak dengan apa yang diistilahkan Herbert Marcus sebagai "rasionalitas teknologis", atau dalam pandangan Max Horkheimer disebut "rasio intsrumental". 

Maksudnya, Jokowi gencar merasionalisasikan kerja dan interaksi supaya mengamankan loyalitas publik dengan kesan "seolah-olah" tanpa paksaan.

Jokowi haruslah presiden populis yang bahasa dan retorikanya adalah bahasa kerakyatan, bahasa rakyat biasa yang menjadikan ia berbeda dari kesan elitis yang selama ini melekat pada lawan tandingnya dalam pilpres kali ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun