Pasca merebak berita Prabowo merayakan suka cita Natal bersama keluarga besarnya, isu-isu miring mulai menyerang Prabowo. Tuduhan anti Islam dan keturunan nonmuslim yang semula dialamatkan pada Jokowi kini berbalik arah bak boomerang bagi Prabowo dan timsesnya dan berpotensi menggilas elektabilitas Prabowo-Sandi.
Bagaimana tidak, kalau dilihat dari pola dan relasi dukungan antara gerakan kelompok 212 dengan Prabowo, rasanya sulit ditampik bahwa bandul dukungan muslim dalam kelompok 212 sudah pasti mengarah ke Prabowo-Sandi. Namun, apakah dengan hadirnya Prabowo dalam perayaan Natal, dapat mengalihkan dukungan? Sebab ini dilema antara membela agama atau membela capres. Manakah yang akan didahulukan?
Nah, hal ini tidak mudah dan serba salah memang, sebab berada di antara dua pilihan dilematis: Pertama, memilih membela agama (terutama soal larangan mengucapkan dan merayakan Natal) dengan konsekuensi meninggalkan Prabowo---itu pun kalau konsisten penafsirannya "haram". Kedua, justru sebaliknya, kalau kekeuh memilih Prabowo, maka ada hal yang dikompromikan---kalau tidak mau dibilang melanggar penafsiran yang biasa dipakai---yaitu mulai elastis terhadap ragam penafsiran (moderat).
Mengapa dua konsekuensi di atas? Sebab selama ini, kerumunan dukungan Prabowo tidak hanya sebagian kelompok santri, kaum hijrais (yang lagi gemar hijrah secara simbolik), melainkan para pendukung gerakan khilafah HTI dan sebagian pula kelompok habaib yang terlihat keras dalam berdakwah plus ormas-ormas Islam tertentu.
Pertanyaannya, ke mana dukungan pejuang khilafah HTI? Kalaulah mereka berdalih tidak mendukung Prabowo dan murni mengikuti perjuangan kelompok 212 atas nama Islam, lantas mengapa mereka rela menjadi bagian dari komunitas muslim 212 yang barangkali juga tidak mendukung kekhilafahan (terlebih melihat Prabowo dan mesin politiknya tidak mewacanakan ganti sistem khilafah).
Kalau HTI tidak mendukung, ya Prabowo jangan GR dulu karena belum tentu yang datang ke dalam seluruh kegiatan massal 212 mendukung dirinya. Malahan sebaliknya, jangan-jangan massa Islam kelompok 212 diperalat kelompok khilafah HTI guna memasifkan publisitas HTI dan hasilnya mereka akuisisi jadi gerakan HTI bela Islam, bukan 212 bela Islam apalagi bela Prabowo. Patut dicurigai memang!
Selain itu, kelompok FPI yang cenderung keras dalam dakwahnya, yang tegas persoalan akidah ini, akan lari kemana jika kenyataannya Prabowo ikut merayakan Natal? Kalau KH. Ma'ruf ucapkan Natal, kan memang secara politis sudah tidak didukung FPI jadi tidak akan berpengaruh apa-apa.
Lantas, bagaimana dengan nasib Prabowo? Ketegasan dan konsistensi penafsiran FPI terkait persoalan akidah ini, akan dipertanyakan umat. Kalau pada Pilkada Jakarta FPI turut meramu fatwa dan risalah Istiqlal yang menolak pemimpin nonmuslim, lalu bagaimana dengan Prabowo yang merayakan Natal? Mungkin, bagi muslim moderat, tidaklah masalah. Tapi bagaimana dengan sikap dan ijtima FPI?
Lagi-lagi akan serba salah sikap FPI. Kalau mengikuti penafsiran haramisasi mengucapkan dan merayakan Natal dan tahun baru, maka mendukung Prabowo bisa jadi madharat besar karena dapat menjerumuskan setidaknya pendukung FPI ke jalan yang salah. Kalau mendukung, akan dikira FPI sangat politis dalam menafsirkan ajaran Islam sesuai konteks dan bandul dukungan politik mereka. Serba salah bukan?
Belum lagi, para pendukung Prabowo yang kerap kali melakukan agresivitas verbal terhadap pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma'ruf dengan tendensi SARA. Mau kemana larinya dukungan politik mereka usai melihat joget-joget Natal ala Prabowo atau mengetahui latar belakang keluarga Prabowo yang memang mayoritas nonmuslim? Di sinilah ruginya jika mereka memainkan kampanye hitam dengan isu SARA yang bertujuan delegitimasi sosial bahkan persekusi.
Sekali lagi, persoalan bandul dukungan ini hanya ada dua konsekuensi seperti yang ditulis pada paragraf tiga di atas. Oleh karena itu, sebaiknya, tawuran opini yang melibatkan unsur SARA itu, disudahi saja. Tulisan ini ingin menegaskan bahwa tidak ada untungnya memainkan isu agama, sebab suatu waktu bakal jadi boomerang. Paling bagus, ya adu gagasan saja, kampanye lebih diarahkan pada kekayaan ide-ide pembangunan Indonesia ke depan dan lebih substantif.