Ketiga, mengamankan zona of possible agreement. Ibarat kata, sementara Prabowo sibuk reunian dengan gerakan kelompok 212, Jokowi mengirimkan sinyal bahwa zona grassroots di rumah-rumah sudah ia amankan dengan kunjungan langsung (face to face informal) bahkan boleh jadi telah terjadi kesepakatan-kesepakatan informal yang memungkinkan adanya tambahan insentif elektoral bagi Jokowi.
Selain itu, kita dapat melihat sebuah proses konvergensi simbolik yang dimainkan Jokowi. Terminologinya bisa kita rujuk dari tulisannya John F Cragan, Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998), yang menjelaskan konvergensi simbolik sebagai kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum atau realitas simbolik yang disebut sebagai visi retoris. Visi retoris ini, menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang, ideologi maupun paradigma berpikir.
Jadi, tak heran jika ada saja warga yang bilang; dari pada duduk demo atau aksi di  Monas, mending turun bekerja untuk rakyat. Nah, anggapan seperti ini sebenarnya disadari atau tidak, memang lahir dari konstruksi pola komunikasi Jokowi yang andal dalam menyisipkan pesan-pesan politik, baik dalam komunikasi verbalnya maupun komunikasi simboliknya.
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa semua ucapan dan tindak-tanduk Jokowi harusnya mulai kita pahami sebagai suatu komunikasi berpola, bukan pepesan kosong yang dilepaskan begitu saja kepada publik, apalagi sampai memantik protes publik dan harus minta maaf karena kalap.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H