Setiap pemaknaan peristiwa, tentu saja tidak lepas dari narasi dan komunikasi simbolik para aktor yang terlibat. Hal ini juga berlaku bagi peristiwa aksi 212 pada 2016 lalu maupun Reuni 212 kemarin. Namun, saya tidak ingin membahas lebih jauh apa yang terjadi pada reuni akbar kelompok 212 melainkan lebih menyoroti komunikasi simbolik Jokowi dalam menyikapi aksi tersebut.
Sebelum saya membahas lebih, perlu diingat bahwa Reuni 212 bukan hanya persoalan suara "bela tauhid", tapi selalu ada pesan di balik pesan, selalu ada framing di balik narasi, selalu ada aktor intelektual di balik aksi, dan selalu ada kepentingan elite di belakangnya.
Terlebih, kalau dilihat kenyataan aksi kemarin, ternyata slogan "bela tauhid" ini terlalu polos jika kita hanya memahaminya sebagai kecintaan akan agama saja, sebab dalam aksi itu hadir capres-cawapres nomor urut 2 beserta para pendukungnya.
Ada yang berargumen, kan tidak ada bendera partai? Sebentar, gambaran politik tidak hanya pada lambang partai berupa bendera tapi juga aktornya, apalagi elitenya. Sehingga, sulit rasanya kita menihilkan irisan politik dalam reuni 212 tersebut. Apalagi, dalam aksi itu Jokowi tidak diundang seperti pada aksi berjilid-jilid sebelumnya, maka jelaslah keberpihakan politiknya dari pembacaan komunikasi politik.
Lantas, bagaimana Jokowi menyikapi Reuni 212 yang dihadiri Prabowo itu? Di sinilah kekuatan komunikasi politik Jokowi. Meminjam bahasa Pacanowsky dan O'Donnel dalam bukunya Communication and Organizational Cultute (1982), disebut sebagai perfoma komunikasi yang didefinisikan sebagai suatu proses simbolik akan perilaku komunikasi dalam organisasi (masyarakat).
Corak komunikasi Jokowi yang high context level; dimana pesan yang disampaikan sangat smooth, caranya pun tidak kentara sebagai aksi balasan, menjadikan komunikasi Jokowi amat berkelas dan cenderung tidak agresif secara verbal namun kuat secara karakter tindakan.
Menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa teknik yang digunakan Jokowi dalam menyikapi Reuni 212:
Pertama, mengalihkan perhatian publik dengan strategi canvassing, seperti meninjau langsung sejumlah rumah yang mendapat penyalaan listrik gratis tahap 1, sebanyak 130.248 KK, dengan target tersambung 100.970 KK di bulan Desember tahun ini.
Pada momentum ini, Jokowi mengetuk langsung rumah warga yang terdampak program dan berkomuniaksi dengan mereka, juga sebagai bagian dari upaya memastikan basis konstituen Jawa Barat. Selain itu, sebagai news maker, Jokowi juga membawa serta wartawan ke lokasi kunjungannya dan mendapat banyak siaran pers.
Kedua, pesan perang urat syaraf. Harus diakui, pola interaksi politik yang menyisipkan pesan politik ini kerap digunakan oleh Jokowi saat dia tidak perlu membalas apapun (tuduhan) yang mengarah kepadanya dengan kata-kata. Contoh yang sudah terkenal adalah melepaskan ratusan kodok dan burung di Istana Bogor. Dari peristiwa ini, istilah cebong kian santer diarahkan ke Jokowi dan pendukungnya.
Nah, karakteristik komunikasi politik semacam Jokowi ini, disebut Robert E Denton dan Gary C Woodward, dalam bukunya Political Communication in America (1990), sebagai intention (tujuan) yang memengaruhi lingkungan politik. Cara ini juga ampuh sebagai cara mendeteksi reaksi publik terhadap tindakannya tersebut, positif atau negatif, diterima atau ditolak, bahkan dieluh-eluhkan atau dicuekin.