Tren pemutakhiran internet hingga generasi ketiga sekarang ini, memberi dampak besar perubahan sosial, tak hanya menyoal keterhubungan antarmasyarakat yang tidak berbatas (borderless) tapi juga mengubah kultur suatu masyarakat dan memperkuat bargaining position publik di mata suprastruktur. Interaksi sosial yang mulanya berlangsung di ruang-ruang publik konvensional mulai bermigrasi ke ruang publik virtual.
Mark Poster menulis Cyberdemocracy: Internet and the Public sphere (dalam David Porter) mengatakan, apa yang dikatakan Habermas tentang konsep public sphere sebagai ruang homogen di mana subyeknya mempunyai relasi simetrikal, telah terabaikan dalam arena publik elektronik. Komunitas virtual seperti terdapat di electronic cafes, bulettin board, milist, blog, forum interaktif web personal, web jejaring sosial telah menjelma menjadi harapan baru ketersediaan ruang publik yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi tanpa dominasi.
Kita mengenal generasi ketiga ini dengan sebutan new media (internet), yang muncul pertama kali dalam wujud web 1.0 seperti media online kompas.com, tempo.co dll. Generasi keduanya disebut web 2.0 (bersifat user-generated content), seperti blog interaktif kompasiana.com, blogdetik, indonesiana, media sosial facebook, twitter dll. Lalu muncul web 3.0 yang bisa diakses lewat gawai pintar (mobile acces), produknya tak jauh beda mulai dari social media (misal instagram dan path) hingga platform seperti market place dll.
Lewat smartphone, kita bisa lebih banyak mengakses dan mengonsumsi informasi setiap hari, bahkan dapat kita kelola menjadi cikal-bakal gerakan sosial hingga revolusi sosial seperti terjadi pada kasus Arab Spring di Tunisia dan Mesir. Jika melihat penetrasi web 3.0 dalam perubahan sosial, maka nampaknya sangat mungkin untuk menggerakkan aksi-aksi sosial untuk kerukunan beragama.
Di Indonesia sudah banyak contoh tren toleransi 3.0, dimana kasus-kasus sosial keagamaan yang mencuat menjadi perhatian khusus warga internet (netizen). Tak jarang, beberapa kasus ditangani oleh netizen. Sebut saja kasus anyar yang belum hilang dari ingatan publik yaitu razia warung makan di Serang, Banten, dan pembakaran musholla di Tolikara, Papua, pada Ramadhan lalu.
Respons dan aksi kolektif netizen meluber di sosial media, bahkan sebagian menjadi rujukan media mainstream. Hasilnya, lewat gerakan donasi netizen, Ibu Saeni yang warungnya dirazia itu langsung mendapat sumbangan ratusan juta rupiah lewat penggalangan dana yang diinisiasi Dwika Putra di kitabisa.com. Malahan, beberapa warung di area razia itu turut mendapat sumbangan.
Lebih menarik lagi, Presiden Joko Widodo pun turut menyumbang 10 juta rupiah, yang artinya suprastruk tur jua turut memperhatikan gelombang massa virtual yg bergerak demi rasa toleransi dan keberadilan. Begitupun peristiwa Tolikara, dimana beredarnya surat larangan dari GIDI di social media, berdampak penangkapan pemimpin GIDI dan musholla pun dibangun menjadi masjid yang cukup besar.
Nyata, bukan! bahwa sadarnya pemanfaatan social media mampu mendorong sentimen publik dalam mengampanyekan secara kolektif, masif, dan efektif tentang isu-isu dan wacana kerukunan beragama. Kita bisa mengukurnya dari jumlah pengguna internet tanah air yang mencapai 88 juta. Dari sepuluh negara di Asia, Indonesia masuk the big four.
China berada di posisi tertinggi dengan jumlah 674 juta pengguna internet, disusul India 375 juta, Jepang 114,9 juta, Indonesia 78 juta pengguna, Bangladesh 53,9 juta, Vietnam 47,3 juta, Filipina 47,1 juta, Korea Selatan 45,3 juta, Pakistan 29,1 juta, dan Malaysia 29,9 juta pengguna.
Hasil riset kerja sama antara Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dengan Pusat Kajian Komunikasi (PusKaKom) Universitas Indonesia yang dimulai tanggal 1 November 2014 sampai 28 Februari 2015, menunjukkan pertumbuhan penggunaan internet di Indonesia terus meningkat, terutama dibandingkan dengan hasil riset APJII mengenai hal yang sama di tahun 2012.
Jumlah dan Penetrasi Pengguna Internet di Indonesia