Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebongkah Kisah dari Bibir Citarum

3 Mei 2011   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:07 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah kondisi Sungai citarum pascabanjir 26-28 april 2011. Jembatan citarum yang membelah Kec. Dayeuhkolot dengan Kec. Baleendah. foto adalah dokumen pribadi

Sungai Citarum, mengoleksi banyak kisah menarik juga tragis. Kisahnya mengalir dari hulu hingga hilir, melewati beragam kehidupan yang menaruh harapan padanya. Dari petani hingga elite politik , dari kaum proletar hingga borjuis, seakan akrab dengan kisah Citarum yang sering diceritakan media, terlepas itu baik ataupun buruk. Kisahnya terus berulang dari tahun ke tahun, masih dengan setting yang sama, namun kita masih saja berdecak kagum. Di lain hal, kita tak juga jera dan takut atas penggalan-penggalan ceritanya yang mengancam.

Dimulai dengan cerita fungsi Citarum yang mengairi ribuan hektar sawah di Kabupaten kawarang, Purwakarta, Subang, dan sebagian Indramayu yang kini menjadi lumbung padi nasional, Citarum juga memberikan sumber penghidupan yang lebih vital yakni sebagai sumber air minum bagi 15 juta warga Jawa Barat dan 10 juta warga DKI Jakarta. Tak hanya itu, Citarum juga memasok listrik untuk jaringan interkoneksi Pulau Jawa-Bali. (Kompas 25/4).

Namun, kisah kesuburan Citarum itu juga dibungkus dengan beberapa cerita memilukan, seperti pencemaran air sungai dengan zat kimia dari limbah industri yang memengaruhi baku mutu air, kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan sungai, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap optimaliasi pemanfaatan Citarum, serta kisah banjir bandang yang melanda beberapa wilayah pemukiman padat penduduk akibat meluapnya Sungai Citarum.

Selain itu, data dari www.indonesiapower.com menunjukkan bahwa lahan kritis Citarum seluas 125.692,20 hektar selama ini ikut memberikan dampak pada peningkatan frekuensi kejadian banjir setiap tahunnya serta sedimentasi rata-rata 25,52 ton per hektar per tahun. Merujuk pada sederet data di atas, rasanya permasalahan Sungai Citarum semakin kompleks. Akhirnya, kerusakan Sungai Citarum ini menjadi tidak sebanding dengan tingkat pengawasan dan pemanfaatannya setiap tahun.

Pasca banjir pertanggal 26-28 April lalu, dalam pengamatan saya selama dua hari sejak 29-30 April di wilayah perbatasan Kecamatan Dayeuhkolot dan Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, kompleksitas permasalahan Citarum sudah meluas hingga merambah ke sektor sosial-ekonomi. Meluapnya air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang membelah Kecamatan Baleendah dan Kecamatan Dayeuhkolot ini, secara perlahan mulai menghambat aktifitas warga. Meski begitu, warga sedikit beruntung sebab jembatan yang menghubungkan dua wilayah tersebut tak ambruk, dan masih menjadi andalan warga sebagai jalur lalulintas utama.

Bagi warga Baleendah dan Dayeuhkolot, Sungai Citarum tak hanya memberikan manfaat tapi terkadang menjelma menjadi momok yang menakutkan. Alhasil, warga selalu dihadapkan pada pilihan yang dilematis terkait Sungai Citarum. Bu Imas (55) misalkan, warga asli Kampung Babakan Leuwi Bandung, Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot ini, mengaku belakangan ini khawatir dengan kondisi Citarum lantaran sering meluap saat diguyur hujan deras sehingga menggenangi pemukiman warga pesisir sungai. Terlebih, rumah Ibu empat anak itu begitu dekat ke bibir Sungai Citarum.

Bagi Imas, banjir yang melanda kampungnya bukan lagi persoalan sederhana sebab bisa dikategorikan sebagai musibah tahunan yang siap menerjang warga saat musim penghujan tiba. Tak hanya itu, penghasilan keluarga Imas pun menjadi surut, bahkan terhenti saat Citarum semakin meluap. Sebagai pekerja serabutan yang tak menentu pendapatannya, Imas rela bekerja apa saja seperti mendaur ulang sampah, membantu suami membajak sawah milik orang lain, serta berjualan kecil-kecilan di pasar guna menopang uang belanja dapur. "ya kalau banjir, saya dan bapak tidak kerja karena harus beberes rumah. kita kerja kalau ada yang nawarin kerjaan aja." Ujar Imas.

Persoalan lain yang juga penting adalah terhambatnya proses belajar-mengajar di sekolah. Kegiatan belajar di Sekolah SDN Andir 1, Baleendah yang rusak akibat banjir setinggi 1-2 meter pada 26-28 April kemarin, terpaksa dihentikan. Aktifitas sekolah pun dialihakan ke Sanggar Kegiatan Belajar Kecamatan Baleendah. Asep dan Irwan, dua bocah SDN Andir 1 ini mengisahkan, kerusakan sekolah akibat banjir tersebut membuat mereka tak tentu belajar sebab dialihkan ke tempat lain dengan suasana belajar yang kurang kondusif.

Asep dan Irwan juga ikut membersihkan sekolah mereka pasca banjir (29/4), mencuci meja belajar yang terkena lumpur, mengeluarkan meja dan kursi yang rusak, serta memilah-milih buku ajar dan buku tulis yang belum rusak. Sebagian buku yang rusak, mereka jual ke tukang rongsokan."itu, malahan buku-bukuna juga dijual da ka rongsokan, ka tukang rongsokan." Tutur Irwan dengan raut wajah sedih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun