Salah satu indikator utama pemilih tradisonal yang bisa diidentifikasi yaitu rendahnya tingkat pendidikan, cenderung manut pada aktor komunikasi politik sosial tradisional, taat pada leader parpol, dan konservatif dalam memegang ideologi. Figur parpol menjadi aktor utama bagi pemilih jenis ini, bahkan mereka kadang menyampuradukkan citra figur dengan citra parpol. Figur baik, pasti partai baik. Figur buruk, partai buruk. Faktualnya, ini yang dialami oleh Demokrat . Citra SBY menurun, kader terlibat skandal korupsi, maka elektabilitas Demokrat terjun bebas. Beda dengan pemilu 2004 dan 2009, dimana berkat figur SBY, elektabilitas Demokrat meroket.
Pemilih tradisional masih menjadi mayoritas di Indonesia. Tak heran, jika Bu Risma, Kang Emil, dan Jokowi kini muncul sebagai pemimpin transformasional di mata rakyat karena figur mereka begitu populis. Bahkan mereka menjadi mesin elektabilitas parpol yang menyumbang insentif elektoral yang signifikan dalam beberapa pemilukada.
4.     Pemilih Skeptis. Nah, di sinilah berkumpulnya para golongan putih (golput). Jenis pemilih ini sangat kecil orientasi mereka pada ideologi maupun kibajakan partai/kandidat. Mereka tidak berperhatian pada platfrom parpol, malas turut berpartisipasi dalam prosesi politik, sudah tidak percaya lagi dengan pemimpin. Siapapun yang memimpin, bagi mereka tak akan mampu memberi perubahan atau harapan untuk mereka. Kalau pun memilih di TPS, mereka akan nyoblos sesukanya tanpa kenal siapa yang dipilih.
Parpol/kandidat butuh perjuangan ekstra untuk merebut perhatian jenis pemilih skeptis. Proses literasi politiknya harus dilakukan berkesinambungan, supaya mampu menekan angka golput saat pemilu. Ini bukan tanggungjawab parapol/kandidat saja, tapi juga tanggung jawab kita sebagai warga untuk turut serta memberi edukasi politik bagi siapapun di lingkungan kita untuk melek politik. Seperti yang saya ungkapkan di awal tulisan, pemilih adalah urat nadi politik, penentu hidup matinya bangsa ini agar tak jatuh pada pemimpin yang zhalim dan lemah.
Jadi, masuk tipologi manakah Anda?
Salam Melek Politik
Catatan: Tulisan ini saya formulasikan dari pengalaman pribadi dan berbagai sumber buku: Komunikasi Politik sebuah Pengantar, karya Gun Gun Heryanto dan Shulhan Rumaru | Public Relations Politik, karya Gun Gun Heryanto dan Irwa Zarkasy| Marketing Politik, karya Firmanzah | Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik, karya Firmanzah | Dinamika Komunikasi Politik, karya Gun Gun Heryanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H