Mohon tunggu...
Muhammad ShubhiHanafi
Muhammad ShubhiHanafi Mohon Tunggu... Administrasi - Master of Risk Management - University of Nottingham

Selamat Pagi Siang Sore Malam. Perkenalkan saya Shubhi, seorang karyawan BUMN member holding Indonesia Financial Group (IFG), tepatnya di PT Jasa Raharja. Telah berkarir selama lebih dari 10 tahun di perusahaan asuransi sosial tersebut. Melalui kompasiana, saya ingin belajar dan berbagai wawasan terkait berbagai hal yang saya dapat dari pengalaman hidup saya. Semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bicara Risiko Perpindahan Ibu Kota

30 Desember 2019   17:29 Diperbarui: 30 Desember 2019   17:35 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertengahan tahun 2019 ini ramai diberitakan rencana perpindahan Ibu Kota Negara RI ke Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Keputusan ini tak lepas dari serangkaian proses pengelolaan risiko yang terstruktur dan komprehensif. Mulai dari pemetaan potensi sumber daya serta ancaman bencana di lokasi tujuan, analisis biaya dan manfaat, serta rencana eksekusinya.

Terlalu kompleks bila semua ini dipaparkan ke publik, namun masyarakat perlu tahu. Di sinilah peran komunikasi risiko.

William Leiss (pernah menjabat sebagai pimpinan Royal Society of Canada) membagi evolusi komunikasi risiko dalam 3 fase.

Fase ke-1 (1975-1984) menitikberatkan pada aspek kuantitatif semata, sangat teknikal dan pragmatis sehingga seringkali risiko dipersepsikan secara keliru oleh publik.
Fase ke-2 (1985-1994) mulai mempertimbangkan karakter masyarakat sebagai objek komunikasi risiko. Fase ini mengadopsi teknik marketing yang digunakan untuk mempengaruhi perilaku calon konsumen.
Fase ke-3 (1994 -- sekarang) mulai menyadari bahwa melibatkan publik saja tidaklah cukup. Otoritas penanggung jawab risiko harus menunjukkan komitmen tinggi terhadap pengelolaan risiko secara berkelanjutan.

Sejauh ini, serangkaian komunikasi teknis yang dilancarkan pemerintah RI sejatinya telah sejalan dengan fase ke-3. Dokumen hasil asesmen risiko diolah menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami masyarakat awam, alih-alih mempublikasikan hasil laporan tersebut apa adanya.

Manajemen risiko dikomunikasikan melalui berbagai media dengan pernyataan seperti "kajian telah dilakukan", "lokasi aman dari bencana, sumber air bersih juga tersedia", "MRT akan dibangun", "desain ibu kota telah dirilis", "pembangunan jalan tol sudah dimulai", "tidak akan ada pabrik di ibu kota yang baru" dan dalam setiap kesempatan, Presiden RI Joko Widodo selalu menyampaikan keseriusannya menggarap proyek ini.

Pesan-pesan ini dipersepsikan oleh masyarakat bahwa pemerintah dalam hal ini dapat dipercaya. Bahwa pemindahan ibu kota tidak semata-mata memindahkan DKI Jakarta dengan segala kompleksitasnya, namun turut memperhatikan aspek jangka panjangnya.

Pada akhirnya, tujuan komunikasi risiko yang efektif menurut Paul Slovic dan Donald J. MacGregor dalam karya ilmiahnya The Social Context of Risk Communication adalah menumbuhkan kepercayaan publik. Apakah tujuan ini tercapai? Rakyat bisa menilai. Yang lebih penting lagi adalah keterlibatan masyarakat dalam mengawal mega proyek tersebut agar sejalan dengan apa yang dikomunikasikan saat ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun