Mohon tunggu...
Fruitful
Fruitful Mohon Tunggu... -

-

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sebuah Opsi 'Merakyat' Penyesuaian Harga BBM 'ala Indonesia'

25 April 2013   07:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:38 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13668624451407699779

[caption id="attachment_257078" align="aligncenter" width="620" caption="Aktivitas pengisian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium di Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) 34-10206, Jakarta, Jumat (12/4/2013). Pemerintah terus membahas langkah yang akan diambil untuk mengurangi subsidi bahan bakar yang membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara./Admin (KOMPAS/PRIYOMBODO)"][/caption] Pada suatu siang belantara pikiran saya tiba-tiba tertuju pada suatu redaksi kata yang keluar dari pidato Presiden SBY di tahun 2012 ketika saya mengingat kembali permasalahan BBM yang didera bangsa ini. Yakni suatu berita daring yang berjudul "Presiden SBY: Jangan Ikuti Strategi Ekonomi Asing" yang diwartakan oleh kompas -saat menanggapi gejolak perekonomian dunia yang sedang limbung-. Adapun gelagat dalam warta tersebut kalau boleh saya menafsirkannya, maka seolah-olah Indonesia memiliki jalannya sendiri dalam membangun dan menata bangsa ini, tidak mengekor, tidak 'asal ikut' negara lain, ataupun terprovokasi SAPs (Structural Adjustment Programs) dari insitusi keuangan global. Meski praduga saya tidak begitu mendasar, akan tetapi berita daring lain seperti "SBY: Teori Trickle Down Effect Telah Gagal (dalam isinya: beralih ke Triple Track Strategy)" cukup membuat saya sumringah, bahwa 'style' kebijakan pembangunan Pak Presiden saat ini adalah bersahabat dengan saya, yakni mengacu pada poin strategi 'pro-growth, pro-job, dan pro-poor' Pro-growth, Pro-job, dan Pro-poor bagi saya adalah sebuah istilah 'empati dan kepedulian' dari Sang Empu Pembuat Kebijakan yang bersikap pada rakyat yang dikomandoinya. Terlebih jika tidak dianggap berlebih, karena karakter style ini jualah yang menyebabkan Indonesia tahan banting terhadap krisis perekonomian global 2008. Sehingga kedekatan poin strategi ini (3Pro) memang seakan menyatu padu selalu bergandengan tangan dengan para pelaku UKM di Indonesia yang diasumsikan sebagai 'jimat' ketahanan ekonomi nasional atas perekonomian global. Melalui arah kebijakan 3-Pro ini maka pemerintah dipandang menaruh minat yang besar terhadap perkembangan dan pengembangan UKM di Indonesia, melalui serangkaian kebijakannya (seperti: KUR, PNPM, koperasi dll) yang 'pro-rakyat' dan 'pro-pencitraan' (?). Lebih lanjut terkait model kebijakan pembangunan tersebut jika saya sarikan 'ini merupakan cara lokal sekaligus cara mikro (ekonomi) ala Indonesia untuk mengatasi suatu permasalahan global sekaligus permasalahan makro (ekonomi) yang melanda'. Maka sejenak dari hal tersebut saya berfikir "bukankah permasalahan BBM adalah permasalahan 'global' yang dibawa 'lokal' ke Indonesia (?), dan bukankah itu permasalahan (makro) dalam APBN serta mengenai dampak inflasi yang mempengaruhi perekonomian mikro terhadap rakyat?'. Jadi, kenapa tidak kita menyelesaikannya dengan cara-cara kebijakan '3-Pro' yang ditegaskan SBY tersebut, yakni cara-cara Indonesia-lah yang seharusnya dapat menyelesaikan permasalahan Indonesia, dengan tidak harus selalu 'saklek' mengikuti intruksi dan cara asing secara 'optimal' (menarik semua subsidi BBM secepatnya)? Opsi untuk BBM 'Ala Indonesia' (dengan Triple Track Strategy) Ketika saya mengingat poor, growth dan job atas BBM, maka saya menjadi teringat pada latennya pembelian BBM melalui jerigen di SPBU oleh rakyat kecil yang digunakan untuk dijual lagi secara eceran dipinggiran jalan diperkotaan maupun dipedesaan/pesisir -yang notabene memang jauh dari kota dan SPBU- (baik untuk kebutuhan alat transportasi, mesin pembajak/traktor ataupun kapal nelayan, yang memang membelinya dalam jerigen). Latennya pembelian BBM dalam jerigen sebenarnya menjadi tanda tanya bagi pemerintah maupun penyedia jasa stasiun pengisian bahan bakar umum di Indonesia, yakni entah penerapan 'Larangan mengisikan BBM di jerigen' hanyalah dianggap sebagai stiker saja oleh pengelola SPBU, atau memang sebenarnya pemerintah yang melalaikan diri atas realita 'bahwa ketersediaan SPBU di Indonesia tidak mencukupi dan menjangkau bagi seluruh masyarakatnya' (?). Yang jelas jika ini menjadi sesuatu yang 'abu-abu', maka saya berharap segeralah untuk dapat dikoreksi. Dan kiranya saya dapat mengusulkan, maka cabutlah larangan tersebut sebagai bentuk upaya untuk menselaraskannya dengan triple track strategy:poor, job and growth. Menghalalkan pengisian dalam jerigen adalah sebuah lintasan opsi yang terlintas dalam pikiran saya dalam mengurangi alokasi subsidi BBM di Indonesia (yang pasti dengan suatu prosedur tertentu). Yaitu dengan cara menaikkan harga BBM secara resmi kedalam suatu nominal harga tertentu, dan pada sisi yang lain pemerintah tetep memberikan subsidi kepada rakyat meski dengan cara yang lain. Maka seperti inilah skema Opsi 'Merakyat' untuk penyesuaian harga BBM di Indonesia:

  1. SPBU tidak melayani penjualan BBM subsidi! kecuali kepada mobil plat kuning dan pembeliberjerigen terverifikasi (yang mana juga dibatasi pembeliannya secara wajar, serta peraturan verifikasi ketat/mencabut hak pembeli berjerigen jika terindikasi 'nakal')
  2. Pemerintah merekayasa/menentukan harga rasional untuk BBM non Subsidi (di jual umum ke konsumen di SPBU) dan BBM bersubsidi (dijual umum ke konsumen melalui warung-warung bensin *warung bensin memiliki kuota: batas atas penjualan). Memberikan pilihan pada 'harga, pelayanan, kenyamanan, dan gengsi' ke konsumen, agar terjadi distribusi pembelian antara membeli di SPBU atau di warung bensin (dengan catatan pasokan SPBU terjaga, dan warung bensin sesuai dengan kuota penjualan yang dimilikinya)
  3. Pemerintah menentukan cara verifikasi & prosedurnya untuk pengecer bisa menjual BBM. Besaran batas atas kuota penjualan (misal hak penjualan BBM ke konsumen 100liter/hari) dan menentukan harga kewajaran BBM (bersubsidi) yang dijual dipasaran/ke konsumen dengan tidak melupakan prosedur sanksi-sanksinya bagi penjual BBM pengecer yang 'nakal'.

Maka ringkasnya dampak yang diharapkan adalah:

  1. Terdapat dua pilihan (harga) pembelian BBM bagi masyarakat, pada dua tempat yang jelas berbeda (SPBU dan pengecer-warung bensin). Sehingga tidak membingungkan masyarakat, dan lagi hal ini untuk memastikan celah karakter konsumerisme masyarakat Indonesia yang sebagiannya memiliki gengsi dan sikap prinsip 'membeli kenyamanan' dalam dalam jual beli).

"Masyarakat Indonesia saat ini bukan sedang banyak makan nasi, akan tetapi sedang banyak makan gengsi" memberikan kesempatan kerja (pro-job) bagi pengecer-warung bensin. Terlebih bagi pembeli yang memang butuh bensin yang 'bersahabat' maka akan membelinya diwarung bensin. Hal ini sekaligus pro-poor, dan pro-growth, karena kami anggap meningkatkan produktifitas: bilamana sebelumnya menganggur (dan hal ini berbeda dengan BLT atau bantuan beras murah yang hanya bersifat 'pemberian' dan 'sementara waktu' saja tanpa nilai produktifitas yang berarti). Untuk dignity, maka hal ini akan memperluas pemberian peran pemberdayaan dan managerial oleh NGO ZIS (zakat-infaq-sedekah) jika mereka disertakan. Yakni untuk mendidik para penganggur/pengelola warung BBM agar hasil yang didapat dapat diberdayakan dan tidak selamanya bergantung terhadap penjualan BBM (subsidi) yang ada diwarung mereka. Kiranya kita tahu, bahwa turut mensukseskan program pemerintah dalam MDG's. mengurangi beban subsidi, yakni jika keputusan konsumen akhirnya terbagi kedalam dua opsi pembelian, yang bersubsidi dengan yang tidak bersubsidi. (kiranya penentuan harga yang 'cocok' akan mensukseskan masyarakat untuk memilih dua opsi pembelian, dengan sebuah arti lain yakni 'menaikkan secara bertahap' lagi 'merakyat') subsidi BBM lebih tepat sasaran. karena menciptakan lapangan kerja, serta subsidi BBM diasumsikan dapat tersaring pembelinya karena terdistribusi atas keinginan konsumen, yakni ke warung bensin dan/atau ke SPBU menghilangkan lonjakan inflasi dibanding jika subsidi langsung dicabut, yakni sesuai dengan rekayasa harga yang ditetapkan pemerintah atas harga jual umum dan harga jual subsidi, serta hasil distribusi yang terjadi masyarakat miskin masih bisa memanfaatkan bensin subsidi dengan peningkatan harga yang tidak terlalu signifikan karena sudah ada harga kewajaran di penjual bensin eceran (jika penjual eceran melanggar, hak dicabut dan masyarakat lain yang layak untuk menjual masih banyak). Itulah sekilas ide untuk opsi pengurangan subsidi BBM di Indonesia 'ala Indonesia', yang pro-job, pro-growth, and pro-poor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun