Mohon tunggu...
Shopiah Syafaatunnisa
Shopiah Syafaatunnisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Minat dengan isu pendidikan dan agama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Peran Influencer Jelang Pemilu

31 Januari 2024   15:16 Diperbarui: 31 Januari 2024   15:17 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kontestasi pemilu 2024 semakin dekat. Menariknya, pemilu musim ini akan didominasi oleh pemilih muda. Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan 55 persen pemilih dalam pemilu mendatang merupakan kelompok gen Z dan milenial (KPU, 2023). Artinya, suara pemilih muda di pemilu nanti akan sangat diperhitungkan. Usia kalangan muda yang dominan tersebut membuat tidak sedikit elite politik tebar pesona demi meraup keuntungan dari suara mereka.
Para pemilih harus mampu menjaga independensi pilihan politiknya masing-masing dengan literasi politik yang mumpuni. Namun, dalam konteks pemilih pemula, tuntutan semacam ini sangatlah dilematis. Pasalnya, usia di kalangan muda masih memerlukan pendampingan karena literasi politik yang masih minim dan belum memadai.

Pendekatan Digital
Berbicara gen z maupun milenial, maka dunia mereka tak akan terlepas dari dunia digital. Celah untuk memberikan edukasi yang paling mungkin mereka serap adalah pendampingan yang sifatnya adaptif dengan dunia digital. Pendekatan melalui media sosial sangat berguna untuk dijadikan ajang literasi politik bagi kalangan muda agar dapat menjadi kontestan pemilu yang cerdas dan bertanggung jawab dengan pilihan politiknya.
Sayangnya, dunia digital tak bisa terlepas dari sisi buruk yang bisa merusak nilai-nilai demokrasi. Menurut data hasil survei oleh Katadata Insight Center (KIC) pada tahun 2022, menjelaskan bahwa masih ada 11,9% oknum masyarakat Indonesia yang masih menyebarkan hoax. Itu artinya, menjadi sebuah tantangan bagi pemilih muda untuk tidak termakan hoax dan mampu menyeleksi informasi. Sikap kritis pemilih muda sangat diperlukan untuk bisa menyaring informasi dengan kredibilitas yang tinggi.
Melek politik mungkin bukan hal mudah jika yang dibidik adalah kalangan muda, terlebih kriteria daya serap mereka yang terkesan tidak menyukai hal-hal berbau literasi yang sifatnya kaku.
Kabar baiknya, sikap apatis kaum muda tidak perlu lagi dikhawatirkan, karena terjadi peningkatan antusiasme anak muda dalam menanggapi isu politik terkini. Merujuk survei Centre for Strategic And International Studies (CSIS) dengan melibatkan 1.200 responden berusia 17-39 tahun yang tersebar di 34 provinsi Indonesia, pemilih muda paling meminati dan membutuhkan pemimpin nasional yang memiliki karakter jujur/tidak korupsi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, dengan jumlah responden sebanyak 34,8 persen.
Sikap kritis kaum muda ini dapat dijadikan momentum banyak pihak dalam meningkatkan literasi politik mereka, baik dengan melakukan seminar kebangsaan, ajang debat, dan lain sebagainya. Termasuk melalui pendekatan digital berupa informasi-informasi yang edukatif seputar pendidikan politik.


Peran Influencer
Fahmi Iss Wahyudi (2024) mengemukakan bahwa diantara tipe pemilih yang meliputi pemilih psikologis, sosiologis dan rasional, kalangan muda cenderung menempati pemilih yang rasional. Pemilih tipe ini cenderung bergerak dinamis atau berubah-ubah tergantung isu dan perkembangan politik yang berlangsung. Mereka selalu mengikuti arus informasi dan hal-hal trending di jagad maya, termasuk informasi perpolitikan. Di sinilah momentum influencer agar dapat menjadi referensi politik anak muda dalam menentukan preferensi politik mereka.

Influencer berperan penting dalam menumbuhkan minat pemilih muda,  paling tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu 2024. Tidak cukup menjadi seorang partisipan, keterlibatan influencer diharapkan dapat mempengaruhi pemilih muda dan meningkatkan antusiasme mereka dalam mempelajari pendidikan politik dengan nuansa yang luwes dan mudah dicerna.

Informasi politik yang melimpah ruah di jagad maya, rupanya semakin menyulitkan kalangan muda dalam melalukan filter informasi. Di sinilah peran influencer sebagai kontrol untuk membantu pemilih muda agar terhindar dari dampak negatif disinformasi.

Berhubung menjelang pemilu, tagline-tagline politik selalu naik daun, sehingga tidak sedikit influencer yang ikut berkutat dalam pembahasan politik, entah apapun motifnya. Sayangnya, ini bukan tentang gimmick dan hiburan semata, tapi seorang influencer yang berani terjun dengan pembahasan politik secara tidak langsung telah memikul tanggung jawab yang berat dalam kapasitasnya sebagai warga negara yang cinta tanah air dan peduli dengan nasib bangsa.

Sebab soalan pemilu bukan sekedar seremonial lima tahunan semata, tapi estafet kepemimpinan yang akan sangat menentukan nasib bangsa ke depan.
Peran influencer dengan basis massa yang besar dapat menjadi opinion maker yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan dalam menyampaikan informasi dan pendapat seputar literasi politik. Literasi mulai dari pemahaman yang mendalam tentang isu-isu politik, visi dan misi para calon pemimpin, serta konsekuensi dari setiap pilihan politik, hingga hal-hal yang bersifat teknis dalam penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan.

Namun perlu diingat, peran-peran positif tersebut juga dapat menjadi pemanfaatan terselubung. Apalagi jika influencer tidak memiliki pengetahuan politik yang memadai, dapat dipastikan bahwa influencer semacam ini dapat jatuh pada klaim-klaim tidak berdasar, hanya memprioritaskan popularitas dan bukan hal-hal yang sifatnya substansial. Tak hanya itu, pemanfaatan influencer oleh elite politik juga perlu diwaspadai agar tidak menjadi influencer bayaran untuk kepentingan mereka, tentu fenomena seperti ini hanya akan menciderai nilai-nilai kebangsaan yang semestinya dijaga.

Sebagai opinion maker dalam pemilu, influencer hendaknya mencontoh tanggung jawab etis yang selalu diaktualisasikan pers, untuk hanya menyampaikan kebenaran dan informasi yang sifatnya kredibel agar tidak menyesatkan pemilih muda yang menjadi segmen pasar dalam menentukan arah politiknya.
Dari kendala yang dipaparkan, betapa menjadi opinion maker dalam pemilu mempertaruhkan tanggung jawab negara dan agama, baik dalam penentuan pemimpin yang akan mengemudikan nasib bangsa, maupun persoalan hisab di ranah agama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun