Ayat di atas berisikan syariat talak dalam Islam. Para ulama sepakat akan dihalalkannya talak, itupun harus dalam kondisi yang memang pernikahan tidak memungkinkan untuk dilanjutkan karena hanya akan memberikan mafsadat. Sama halnya seperti hukum menikah, talak bisa dihukumi halal, namun bisa juga berubah menjadi makruh, bahkan haram, sesuai konteks dan keadaan.
Allah swt berfirman:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (QS. Al Baqarah: 229).
Dalam hadis yang diriwayatkan Tsauban juga dikatakan bahwa wanita mana saja yang meminta cerai tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR. Abu Daud no. 2226). Itu artinya, sekalipun terdapat syariat talak (cerai), namun tentu persyaratannya sangatlah ketat, halal bukan berarti dibolehkan untuk bermudah-mudahan menggugat maupun meminta cerai.
Ibnu Hajar Al-Atsqalani yang juga dikutip tafsir al-Qurthubi memaparkan hukum bercerai secara terperinci. Cerai dihukumi wajib manakala hubungan sudah tidak bisa lagi diperbaiki meski sudah melakukan mediasi. Cerai dihukumi sunnah manakala seseorang tidak mampu memenuhi hak pasangannya maupun sifat pasangan yang tidak mampu menjaga kehormatan diri serta pasangan yang tidak memperhatikan perkara yang wajib dalam agama. Cerai dihukumi boleh karena perangai buruk pasangan yang bisa berefek negatif sehingga jika dipertahankan tidak meraih tujuan pernikahan.
Cerai dihukumi makruh manakala kondisi rumah tangga terbebas dari hal-hal yang menyebabkan dibolehkannya cerai dalam syariat, dan pernikahan justru masih bisa diteruskan. Cerai dihukumi haram, dengan alasan yang hampir sama dengan hukum makruh, namun lebih tinggi tingkat pelanggarannya karena tidak sesuai dengan petunjuk dalam quran dan sunnah atau dikenal dengan talak bid'i, misalnya menceraikan istri dalam keadaan istrinya haid atau dalam keadaan suci setelah disetubuhi. (Fathul Bari, 9/346).
Larangan Bermudah-mudahan Cerai
Agama kita memerintahkan umatnya untuk menjaga dan menahan lisan dari berkata maupun berucap yang tidak sepatutnya, termasuk dalam hal ini agar tidak bermain-main dengan ucapan talak. Diperkuat oleh sabda Rasulullah saw bahwa ada tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh-sungguh akan jadi dan bila dikatakan dengan main-main akan jadi pula, yaitu nikah, talak dan rujuk. (HR. Ibnu Majah no. 2039).
Oleh karena itulah, hindari berucap tanpa berpikir, agar tidak ada penyesalan di akhir, apalagi tanpa sebab yang dibenarkan syara', apalagi menyangkut kehidupan rumah tangga yang tentu masih sangat panjang. Syariat nikah, talak, rujuk, sebenarnya sebuah perhatian besar dari agama Islam dalam menciptakan solusi bagi kehidupan berumah tangga.
Namun perlu digarisbawahi, bercerai tentu bukan karena faktor bermudah-mudahan sekenanya. Apalagi dalam Islam, harus ada tahapan yang dilalui. Proses menangani pasangan yang nusyuz saja harus melalui banyak tahap. Selain itu, terjadi percekcokan pun tidak serta merta pada keputusan bercerai, Islam justru menganjurkan mediasi sebagaimana firmanNya: