Masyarakat kita seringkali berasumsi bahwa perceraian itu aib dan dosa, melukai anak dan keluarga, bahkan pasangan yang bercerai selalu dipersepsikan sebagai figur yang gagal dan rusak dalam berumah tangga.
Memang kita sangat masyhur dan mengerti bahwa perceraian itu tidak disukai Allah dan paling Allah benci, namun jarang sekali yang mengulik tentang mengapa cerai dihalalkan dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasullah saw bahwa talak itu perbuatan halal yang paling dibenci Allah. (HR. Abu Daud no. 2178). Tentu ada hikmah yang bisa kita pelajari di balik hukum syariat kita yang selalu menyimpan maslahat untuk umat.
Gaya bahasa hadis di atas sangatlah bermakna. Umpamanya ialah hadis tentang siwak, Rasul bersabda, kalaulah tidak memberatkan atas umatku, maka aku akan menyuruhnya bersiwak setiap wudhu. Sekilas seolah-olah siwak wajib setiap wudhu. Padahal itu hanya anjuran saja.
Pun sama halnya dengan hadis mengenai talak di atas, meski disebut sebagai halal, tapi halal nya penuh makna, tidak bisa sekenanya. Bahkan dilanjutkan dengan kalimat paling Allah benci, betapa kehalalannya menunjukan sangat tipis, sangat dekat dengan murkaNya, jika tidak berhati-hati.
Setiap insan memiliki ujiannya masing-masing, yang telah Allah tetapkan sejak di lauh al-mahfuz. Diantara mereka ada yang harus diuji dengan pernikahan, dan inilah sisi yang harus dipahami oleh masyarakat agar tidak memandang perceraian dengan sebelah mata. Akan tetapi tulisan ini juga bukan untuk agar pasangan bermudah-mudahan dengan talak. Sekedar untuk dipahami bahwa bercerai sudah ada sejak zaman Rasulullah, namun tentu dalam keadaan yang betul-betul dibenarkan oleh syariat.
Sekilas tentang Talak
Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Thalaq: 1)