Pandemi adalah mimpi buruk. Namun ia bukan makhluk yang memiliki hasrat, kehendak ataupun nafsu. Ia bukan entitas yang berjiwa. Dan meski mematikan, ia kini setidaknya dapat memberikan kita sebuah ruang jeda.Â
Pandemi telah memberikan kita sebuah titik di antara jutaan kalimat yang saling bertumpang-tindih. Pandemi adalah kobar api yang juga menyimpan seteguk air. Ia adalah sebuah paradoks.
Tidak seperti biasanya. Jeda waktu yang tersedia karena pandemi telah membuat saya dan Anda memiliki pengalaman baru. Salah satu yang saya syukuri adalah jeda waktu. Pandemi melonggarkan kita. Ia memberi kita tempat untuk kita sedikit beristirahat. Ada pengalaman-pengalaman baru nan menyenangkan jika kita mau jujur terhadap keadaan ini.
Mari kita beri contoh baiknya. Sebulan ini saja saya sudah berhasil melahap lebih dari lima buku. Bukan buku-buku tipis. Cukup dua pekan untuk saya menamatkan tiga jilid 1Q84 karya Haruki Murakami.Â
Lantas disusul membaca buku-buku lain secara acak. Tentu kegiatan ini tetap diiringi dengan ritme aktivitas yang bergulir seyogianya. Jelas kegiatan saya tak hanya baca-baca buku saja. Namun di tengah pandemi, beberapa aktivitas yang biasanya saya lakukan, ada yang harus direduksi atau dihapus sementara waktu. Ruang kosong inilah yang saya isi.
Mengisi ruang kosong yang disediakan oleh pandemi - yang sebenarnya tak hanya terbatas pada saat pandemi, adalah hal yang menyenangkan. Namun ada prasyarat mutlak yang harus dipenuhi: mengetahui apa yang kita cari. Mengetahui apa tujuan kita. Paham betul apa yang akan "mengisi" dari "kekosongan" itu sendiri.
Berbicara mengenai tujuan, saya selalu ingat nasihat dari Abah (sebutan saya terhadap "Ayah" atau "Bapak"). Ia selalu berujar, "Jangan pernah pergi tanpa tahu ke mana tujuannya." Dan sejak nasihat itu ia ucapkan, hingga beberapa saat saya tak benar-benar paham apa maksudnya, tentu saja di luar makna literalnya.
Jawaban atas apa makna nasihat Abah itu baru saya temukan sekarang. Tidak melalui Abah secara langsung, karena ia lebih memilih saya menginterpretasikannya secara pribadi.Â
Dan secara pribadi, saya memaknai nasihat itu melalui pemahaman psikolog Alfred Adler. Benar, Alfred Adler yang bersama Sigmund Freud dan Carl Jung menjadi tokoh kunci dalam psikologi dan pskiatri itu.
Makna "tujuan" yang dimaksud Adler - seperti yang saya baca dalam The Courage to Be Disliked karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga, adalah landasan dari sesuatu atau apa yang kita lakukan sekarang.Â
Masih dalam buku yang ditulis oleh Kishimi dan Koga tersebut, Adler menyatakan bahwa dalam melakukan tindakan-tindakannya, manusia selalu berorientasi terhadap "tujuan". Bahkan Adler menegasikan peran "trauma" dalam pembentukan kepribadian seseorang dan lebih menitikberatkan esensi "tujuan" bagi seorang manusia.