Sebelumnya, perkenalkan. Saya Muhammad Shoma. Pelajar SMA. Ingin berbagi sedikit opini.Â
Baru-baru ini, ada sebuah universitas yang melarang mahasiswinya mengunakan cadar. Meski keputusan itu dibatalkan, namun sudah terlanjur ada universitas lain yang meniru kebijakannya. Masalahnya bukan ada pada mulai ada yang ikut-ikut kebijakan seperti itu, namun masalahnya ada karena berita ini viral.
Berbicara tentang cadar, saya sendiri punya pengalaman dengannya. Tiga tahun saya hidup yang orang-orangnya berkultur kurang-lebih berciri seperti ini; perempuan bercadar atawa berjilbab panjang, celana lelaki dibuat cingkrang, kumis dicukur dan jenggot dipanjangkan dan lain-lainnya. Pengalaman inilah, yang saya rasa membuat saya merasa memiliki prespektif yang berbeda tentang masalah kali ini.
Pengalaman saya ketika berinteraksi dengan mereka baik-baik saja. Mereka tetap ramah, santun, baik hati dan tak segan-segan menolong. Bahkan tidak hanya di lingkungan sekolah, namun juga di lingkungan saya, banyak sekali orang yang menggunakan cadar. Mulai dari penjual bubur jagung, susu sapi, hingga sandang. Mereka normal-normal saja. Saya dan warga lain tetap berinteraksi baik dengan mereka.
Mengapa saya dan warga lainnya dapat berinteraksi baik? Karena mereka tak menutup interaksi. Mereka tak memungkiri komunikasi. Yang mereka tutup tubuh mereka, bukan mulut mereka. Kalau saja saya meminjam alibi yang diberikan oleh pihak yang kontra dengan penggunaan cadar, yang mengatakan penggunaan cadar berbanding lurus dengan merosotnya pola komunikasi, saya dengan lantang menjawab; tidak. Kalau pola komunikasinya buruk, mengapa bubur jagung yang dijual oleh wantia bercadar itu pasti ludes sebelum jam menunjuk angka delapan?
Apa yang saya ceritakan di sini ialah hal empirik. Karena masalah cadar ini masalah implementasinya, bukan hanya teori. Orang yang menggunakan cadar lantas dicap menganut ideologi tertentu ialah hal yang naif.Â
Apakah adil ketika saya mengecap orang yang menggunakan kaus polkadot warna hitam-putih ialah seorang liberal? Apakah adil ketika saya memberi sterotipe kepada seseorang yang menggunakan payung merah bahwa ia komunis? Jawabannya; tidak. Itu sangat tidak adil. Meski fesyen bisa dijadikan representasi identitas, namun terlalu naif dan kekanak-kanakan jika kita terlalu kemrungsung.
 Sejauh ini, saya memang seorang yang kadang kala tidak setuju dengan gagasan-gagasan yang dibawakan oleh Islam dari kubu sebelah. Namun untuk poin ini, saya satu dengan mereka. Ini bukan saja bentuk Ukhuwah Islamiyyah, namun juga bentuk pembelaan atas hak asasi manusia.
Kalau selama ini kita membela mereka yang dicap 'bebas' dengan asas kebebasan, mengapa kita tidak membela pengguna cadar dengan asas kebebasan pula? Saya berpesan:
"Tubuhmu otoritasmu. Kau boleh pakai apa saja yang kau mau. Boleh seperti mereka yang mengecap dirinya seorang feminis hingga mereka yang takzim di jalan Tuhan. Kalau kau membela kebebasan berpakaian, bela juga mereka yang sedang berpakaian sesuai tafsirnya atas sabda-Nya. Poinnya bukan ada pada aspek teologi, tapi pada kebebasan itu sendiri. Jangan malah terjebak dalam logika falasi: membela yang satu atas nama kebebasan, namun yang satu ditindas juga atas nama kebebasan. Kebebasan tak sebercanda itu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H